REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Majelis Ulama Indonesia mendukung wacana sertifikasi perkawinan yang diusulkan pemerintah untuk meningkatkan ketahanan keluarga, namun mensyaratkan agar sertifikasi tersebut tidak mempersulit calon pengantin untuk menikah.
"Saya setuju bimbingan pranikah untuk direvitalisasi supaya tidak sekadar pelatihan, dalam bahasa lain jangan sampai hanya formalitas, tapi betul-betul menguji kemampuan. Tapi juga jangan sampai kalau tidak lulus tidak boleh menikah," kata Wakil Sekjen MUI Bidang Informasi dan Komunikasi, Amirsyah Tambunan, dalam acara Forum Merdeka Barat Kementerian Komunikasi dan Informatika Jakarta, Jumat (22/11).
Amirsyah sepakat bahwa substansi bimbingan pranikah harus ditingkatkan dan diperkuat tidak sekadar hal-hal yang berkaitan dengan agama melainkan juga pada keterampilan hidup dan persiapan mental.
Menurut Amirsyah, bimbingan pranikah harus juga memberikan pengetahuan tentang kesehatan keluarga, pendidikan keagamaan, dan juga termasuk tata rencana keuangan keluarga.
Dia mengusulkan dalam proses pelatihan pada bimbingan pranikah juga berkenaan dengan keterampilan hidup (life skill) untuk meningkatkan ekonomi keluarga dan juga keterampilan dalam menata emosi atau perilaku (soft skill).
Amirsyah merujuk data perceraian 2018 dari Mahkamah Agung bahwa sebanyak 419.268 pasangan bercerai. Menurut dia, tingginya angka perceraian tersebut salah satunya dikarenakan ketidaksiapan dan ketidakpahaman pada pasangan tersebut.
Di sisi lain, dia menekankan perlunya diskusi lebih mendalam bagi para pemangku kepentingan untuk merumuskan substansi bimbingan pranikah agar benar-benar berkualitas dan bisa mendapatkan hasil yang ingin dituju.
Namun Amirsyah menekankan bahwa sertifikasi yang akan diterapkan dapat mencapai tujuannya yang diinginkan tanpa mempersulit proses dan persyaratan untuk menikah. "Jangan ada kesan dengan sertifikasi ini yang tidak boleh lulus tidak boleh menikah," kata Amirsyah.*