Jumat 22 Nov 2019 16:19 WIB

Radikalisme Politik Kerap Menyalahgunakan Agama

Radikalisme politik indikatornya ingin mengganti Pancasila.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Nashih Nashrullah
Warga melintas di depan mural bergambar Garuda Pancasila dan NKRI Harga Mati di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. (ilustrasi)
Foto: Antara/Muhammad Iqbal
Warga melintas di depan mural bergambar Garuda Pancasila dan NKRI Harga Mati di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA – Salah satu indikator radikalisme politik adalah keinginan mengganti Pancasila sebagai dasar negara. 

Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag), Prof Kamaruddin Amin, mengatakan radikalisme sebenarnya ada kaitan-kaitannya dengan politik, cuma agama sering dimanipulasi, dikapitalisasi, sering dieksploitasi untuk menjadi instrumen yang strategis untuk menyampaikan pesan-pesan politiknya itu. 

Baca Juga

Dia menyampaikan, salah satu indikasi radikalisme adalah adanya paham anti Pancasila yang ditanamkan. Artinya disebut radikalisme karena melakukan upaya secara individu dan kelompok untuk membuat perubahan fundamental dengan cara-cara kekerasan. 

“Upaya membuat perubahan fundamental itu sesungguhnya politis,” kata Komaruddin di Jakarta, Jumat (22/11).  

Dia mengungkapkan belum lama ini mendapatkan informasi ada dua pesantren yang terindikasi atau berpotensi radikal. Tapi belum mendapatkan data lengkap pesantren tersebut.

Pihaknya akan mendiskusikan langkah-langkah apa yang harus diambil. "Menurut temuan Litbang ada dua (pesantren terindikasi radikal), itu juga kami masih perlu lihat lagi, saya harus melihat langsung, kemudian identifikasi hal-hal yang bisa kita lakukan untuk komunikasikan itu," ujarnya.  

Sebelumnya, Menteri Agama (Menag), Fachrul Razi angkat bicara terkait informasi adanya pesantren terindikasi radikal. Menag mengatakan, pihaknya akan mengamati secara perlahan dan tidak serta merta membubarkan pesantrennya. 

Kalau ada indikasi radikal, Kemenag akan bina dengan baik. "Kita selalu mencoba semuanya dengan pendekatan musyawarah," ujarnya. 

Dia menyampaikan, kalau tidak bisa dengan pendekatan musyawarah, maka akan mengambil langkah hukum. Tapi hindari cara mengambil langkah hukum ini karena mereka saudara.

Menurut Menag ruang dialog selalu terbuka. "Kalau nanti sewaktu-waktu memang enggak bisa, nanti kita ada langkah-langkah hukum, tapi kita hindari sedapat mungkin, semua kan saudara kita," ujar Menag.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement