REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) menanggapi polemik putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) dalam perkara penipuan jamaah umrah First Travel. Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas mengatakan perlu ada kejelasan soal siapa pemilik harta yang dirampas oleh negara sebagaimana putusan kasasi.
"Harus dijelaskan dulu, harta yang dirampas itu harta siapa? Apakah milik First Travel ataukah itu harta milik jamaah yang sudah disetor ke First Travel. Kalau itu milik jamaah yang dikelola oleh First Travel, enggak boleh negara mengambilnya. Negara harus mengembalikan ke jamaah yang telah menyetor," ujar dia di kantor MUI, Menteng, Jakarta, Selasa (19/11).
Anwar menjelaskan, ada tiga jenis kepemilikan harta, yakni hak milik pribadi, masyarakat negara. Ketiganya ini tidak boleh saling merampas dan masing-masing harus saling menghormati.
"Bila harta yang dirampas itu milik First Travel maka tidak menjadi persoalan. Tapi kalau harta dari jamaah wah bagaimana ceritanya," ungkapnya.
Menurut Anwar, kepemilikan harta yang dirampas oleh negara dalam perkara First Travel ini belum jelas. Hal ini pula yang dipertanyakan dirinya.
Sebab, dia mengatakan negara tidak bisa merampas harta secara sewenang-wenang. "Pertanyaan saya sekarang, dirampas oleh negara, harta siapa itu yang dirampas, harta pribadikah? Harta masyarakatkah? Atau apa? bagi saya, itu belum jelas," kata ketua PP Muhammadiyah bidang ekonomi itu.
Agar menjadi jelas, harus dipastikan terlebih dulu berapa harta kekayaan pribadi yang dimiliki bos First Travel. Pendalaman harta ini untuk mengetahui berapa harta pribadi yang murni milik bos First Travel.
"Misalnya contoh Rp 10 miliar, tapi setelah dihitung itu ada Rp 100 miliar. Berarti yang milik jamaah itu Rp 90 miliar. Kalau pengadilan merampas semuanya, maka yang dirampas ada dua macam. Milik pribadi dan jamaah. Boleh enggak? Enggak boleh dong," ucapnya.