Kamis 14 Nov 2019 06:07 WIB

Soal Radikalisme dan Pendidikan Isathiyah

Soal Radikalisme dan Pendidikan Isathiyah

Santri sholat sunah di Masjid Lawang Songo, Ponpes Lirboyo, Sabtu (30/4). Ponpes Lirboyo siapkan 1.000 santri untuk dikirim ke 32 daerah guna menangkal penyebaran paham NII dan radikalisme Islam.
Foto: Antara/Arief Priyono
Santri sholat sunah di Masjid Lawang Songo, Ponpes Lirboyo, Sabtu (30/4). Ponpes Lirboyo siapkan 1.000 santri untuk dikirim ke 32 daerah guna menangkal penyebaran paham NII dan radikalisme Islam.

Oleh: Azyumardi Azra, Cendikiawan.

 

Ada anggapan berkembang luas bahwa pendidikan Islam atau bahkan pendidikan umumnya di banyak di negara Muslim, seperti Indonesia, telah semakin terpapar pada paham dan praksis Islam radikal. Soal radikalisme telah menjadi wacana panas dari waktu ke waktu, khususnya di Indonesia, sejak masa awal masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin yang menugaskan beberapa menteri, seperti Menteri Agama, untuk memberantas radikalisme keagamaan.

Isu radikalisme dalam kaitan dengan pendidikan Islam bukan cerita baru. Sejak Peristiwa 11 September 2001 di WTC, New York, dan markas Pentagon, Washington DC, pendidikan Islam menjadi sorotan banyak kalangan Barat dan juga pemerintah Islam. Pendidikan Islam, seperti madrasah di Afghanistan, Pakistan, dan Yaman, mereka curigai sebagai tempat persemaian radikalisme dan ‘talibanisme’ yang berujung pada terorisme.

Bagaimana lembaga, para pemangku kepentingan, dan pemerintah negara-negara Muslim merespons perkembangan tersebut? Apakah tekanan dalam dan luar negeri mendorong perubahan dan pembaruan pendidikan Islam? Pertanyaan semacam ini mengingatkan penulis "Resonansi" ini pada topik pembicaraan dalam Konferensi

"Reforms in Islamic Education" di mana penulis juga turut menjadi narasumber. Diselenggarakan Pusat Kajian Islam Universitas Cambridge dan Universitas Edinburgh Inggris, konferensi membahas tentang berbagai aspek pendidikan Islam, baik di negara mayoritas Muslim, seperti Indonesia, Malaysia, Pakistan, dan Mesir, maupun minoritas Muslim di Inggris, Jerman, Swiss, Belanda, Bosnia-Hercegovina, Swedia, Amerika Serikat, dan Kanada.

Pendidikan Islam jelas tidak seragam di berbagai kawasan dunia; dan sejarah pembaruan pendidikan Islam amat panjang. Sebagian besar lembaga pendidikan Islam di banyak kawasan Dunia Muslim menerapkan pembaruan jauh sebelum terjadi ketegangan antara Barat dan Dunia Muslim. Tujuan pembaruan tidak lain agar membuat peserta didik dan lulusan pendidikan Islam memiliki pandangan keislaman yang kuat dan pada saat yang sama siap menghadapi tantangan dunia modern dengan ilmu dan keahlian.

Di banyak kawasan Timur Tengah, pendidikan Islam sepenuhnya dinasionalisasikan ke dalam sistem pendidikan umum sejak awal 1960-an. Pendidikan formal umum sepenuhnya berada di bawah kontrol negara. Dengan begitu, tidak ada lagi sistem dan kelembagaan yang secara khusus dapat disebut sebagai pendidikan Islam. Jika ada lembaga pendidikan Islam, itu hanya dalam bentuk lembaga pendidikan ‘non-formal’ semacam 'kuttab' yang menjadi tempat anak-anak untuk belajar membaca Alquran.

Sementara, di Pakistan dan Afghanistan, pendidikan Islam—khususnya madrasah—tetap berada di luar sistem pendidikan nasional dengan ideologi dan kurikulum sendiri. Usaha negara mereformasi madrasah tidak pernah berhasil sehingga tetap sepenuhnya hanya mengajarkan ilmu agama sesuai ideologi para pemilik dan pengasuhnya. Karena itulah, madrasah semacam ini sangat rentan menjadi tempat bagi sektarianisme dan radikalisme keagamaan yang kian sulit terselesaikan.

Pada saat yang sama, pendidikan Islam yang terus tumbuh di banyak negara Barat sejak di Eropa dan Amerika Utara berjuang untuk mendapat pengakuan negara sehingga para lulusannya dapat melanjutkan mobilitas pendidikan mereka. Untuk itu, mereka harus mengadopsi kurikulum dan standar pendidikan negara Barat setempat. Jika memenuhi syarat, lembaga pendidikan Islam bisa mendapat biaya sepenuhnya atau setidaknya subsidi dari pemerintah bersangkutan, seperti berlaku di Inggris atau Belanda.

Dalam presentasi, penulis "Resonansi" ini menjelaskan di Indonesia pendidikan Islam terintegrasi ke dalam arus utama pendidikan nasional—menciptakan dua sistem paralel, di mana pendidikan Islam berjalan sejajar dengan pendidikan umum. Sistem paralel ini membuat pendidikan Islam setara dengan pendidikan umum, yang memungkinkan terjadinya mobilitas pendidikan lebih luas bagi para peserta didik. Bahkan, lembaga pendidikan Islam formal ini juga dilengkapi dengan lembaga pendidikan nonformal di luar waktu sekolah semacam diniyah; memperkuat penanaman nilai-nilai Islam kepada generasi muda Muslim.

Bagi penulis "Resonansi" ini yang berbicara dalam panel dengan Tariq Ramadan, guru besar di Universitas Oxford dan Michael S Merry, guru besar Universitas Amsterdam, peneliti pendidikan Islam di Eropa dan Amerika Utara, pendidikan Islam Indonesia lebih menjanjikan dibanding negara-negara Muslim lain. Pendidikan Islam Indonesia menjanjikan pendidikan Islam wasathiyah—lebih tahan terhadap godaan dan infiltrasi radikalisme

Selain itu, sistem pendidikan Islam Indonesia terbesar di seluruh dunia sejak dari tingkat TK sampai perguruan tinggi. Cakupan substansi dan kurikulumnya hampir mencakup seluruh bidang ilmu keislaman, baik yang bersumber dari ayat-ayat Qur’aniyyah maupun ayat-ayat kauniyah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement