Selasa 05 Nov 2019 04:04 WIB

Manusia Bermanfaat

Kelemahan manusia yang paling mendasar adalah kesempitan akal pikirannya.

Hikmah
Foto: Rendra Purnama/Republika
Hikmah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dadang Kahmad

Kelemahan manusia yang paling mendasar dan yang menyebabkannya terlempar ke dalam derajat yang paling rendah (asfala safilin) adalah "kepicikan" dan "kesempitan" akal pikirannya.

Alquran secara terus-menerus menyebutkan kelemahan ini dalam berbagai bentuk dan konteks yang berbeda. Baik kesombongan, mementingkan diri sendiri, maupun sering menampakkan ketamakan pada dasarnya adalah karena kelemahan aspek pikir tersebut.

Oleh karena itu, Alquran mengingatkan kita untuk menggunakan kemampuan inteligensia dan hati nurani (QS al-Hajj [22]: 46) agar bisa menyelamatkan diri dari derajat asfala safilin dan kembali kepada derajat fi ahsani at-taqwim—manusia yang dimuliakan Tuhan karena me miliki mental yang tangguh ketika men jalani kehidupan ini.

Kelemahan lain manusia yakni mudah melupakan Tuhan pada saat mendapatkan nikmat dan kejayaan. Namun, jika tertimpa musibah dan kesulitan, dia menunduk dan meratap di hadapan Tuhan (QS Yunus [10]: 12).

Kecenderungan melupakan Tuhan itulah yang banyak meng akibat kan kita seolah melupakan hakikat diri sebagai seorang hamba yang ti dak dapat lepas dari peran eksis ten sial Tuhan. Jika saja manusia terlepas dari Tuhan, ia akan mengalami frag men tasi eksistensial atau keter pe cah an kepribadian (split of personality).

Akibatnya, ia tidak dapat mem bedakan realitas kehidupan yang mes ti dijadikan sebagai wahana men cip takan optimisme hidup. Karena itulah, Alquran juga meng ingatkan manusia untuk tidak sekalikali melupakan Tuhannya sebab Dia akan membuat manusia lupa akan dirinya sendiri (QS al-Hasyr [59]: 19).

Namun, Tuhan memberikan pengharapan dan optimisme kepada manusia bahwa di dalam menempuh kesulitan tersebut ia akan menda pat kan jalan kemudahan (QS Alam Nasrah [94]: 5-6), asalkan menjalani tiga persyaratan, yaitu: a'tha (memberikan sebagian hartanya di jalan Allah), attaqa (bertakwa), dan mem benar kan adanya pahala yang terbaik (shaddaqa bil husna) (QS al-Lail [92]: 5-7).

Secara definitif, a'tha adalah sikap mau menolong sesama manusia yang kurang beruntung. At-taqa adalah sikap sadar bahwa Allah selalu mengawasi. Shaddaqa bil husna adalah mem benarkan adanya pahala yang terbaik dari-Nya sehing ga mendorong manusia berkompetisi dalam menciptakan kekaryaan yang terbaik (fastabiq al-khairat).

Dengan demikian, baik sikap a'tha, at-taqa, maupun shaddaqa bil husna akan mengantarkan manusia kepada kemudahan dalam meng hadapi kesusahan dan ujian dalam proses menjalani ke hidupannya. Wallahua'lam bishshawwab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement