Rabu 30 Oct 2019 15:15 WIB

Meredam Berita Buruk, Seperti Apa?

Orang yang beriman dilarang mencari-cari keburukan orang lain.

Takwa (ilustrasi).
Foto: blog.science.gc.ca
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Allah SWT telah memberikan rambu-rambu yang tegas menyangkut dasar-dasar moral dan etika dalam membangun masyarakat yang beradab dan berbudaya. Hal ini ditegaskan dalam QS an-Nur [24]: 19, yang memerintahkan orang-orang beriman untuk tidak menyebarkan berita-berita buruk. Melalui ayat tersebut, Allah memerintahkan umat Islam untuk tidak mudah terpengaruh dengan informasi yang tidak sehat, prasangka, ghibah, dan segala bentuk kekejian lainnya.

Sejalan dengan itu, dalam ayat 12 surah al-Hujurat [49] Allah menetapkan larangan bagi orang-orang yang beriman untuk berprasangka negatif terhadap orang lain. Karena sebagian prasangka itu adalah dosa.

Selain itu, orang yang beriman juga dilarang mencari-cari keburukan orang lain dan menggunjingkannya. Alquran menganalogikan orang yang suka ber gunjing itu seperti seseorang yang memakan daging saudaranya yang telah meninggal.

Begitulah cara Islam menjaga kehormatan sesama manusia dengan larangan mem- beri malu orang lain dan menyiarkan aib seseorang. Meskipun mungkin dari sudut pandang ekonomi berita-berita gosip mendatangkan keuntungan bagi media, dari segi moral dan psikologi masyarakat jelas hal itu merugikan.

Sudah menjadi sunatullah dalam masyarakat bahwa suatu kejahatan dan keburukan yang diekspose akan tumbuh makin subur. Di sinilah kita meyakini hikmah larangan Allah untuk tidak menyiarkan aib dan keburukan sesama ma nusia.

Berita pornografi, sadisme, perkosaan, dan berbagai tindak kejahatan lainnya yang tumbuh di masyarakat adalah untuk ditindak dan dibasmi, bukan sebaliknya menjadi tuntunan bagi masyarakat untuk turut meniru dan melakukannya. Berita itu harusnya menjadi filter bagi setiap pribadi Muslim untuk mengambil hikmah agar se nantiasa berbuat yang terbaik.

Berita-berita buruk seperti perselingkuhan, kejahatan seksual, pembunuhan, dan perampokan, jelas meninggalkan bekas mendalam pada masyarakat. Sadar atau tidak, tersiarnya berita buruk, apalagi disajikan berulang-ulang, dapat membangkitkan pikiran bawah sadar orang yang rusak akhlaknya untuk melakukan perbuatan yang sama.

Larangan dalam agama tidak hanya terhadap perbuatan menyiarkan berita buruk, tapi orang yang suka dirinya diekspose sebagai bahan berita buruk diperingatkan risikonya.

“Seluruh umatku dapat diampuni dosanya, kecuali orang-orang yang terang-terangan melakukan dosa. Dan, termasuk melakukan dosa de ngan terang-terangan itu adalah seseorang yang melakukan perbuatan dosa di malam hari sampai paginya Allah menutupi (rahasianya), tapi kemudian ia sendiri yang membuka (rahasianya) dan berkata, “Tadi malam saya melakukan perbuatan ini dan itu.” Dia se ngaja membukakan sesuatu yang oleh Allah telah ditutupi.” (HR Bukhari dan Muslim).

Tugas seorang Muslim bukanlah mencari kelemahan dan keburukan orang lain. Tetapi, mengajak orang lain agar ber buat kebaikan dan melarang berbuat kemungkaran. Meredam berita buruk tentu bukan untuk melindungi keburukan dan pelakunya, melainkan untuk melindungi masyarakat dari pengaruh keburukan yang merusak. Wallahu a’lam.

sumber : Hikmah Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement