Ia menegaskan, bahwa Islam membawa reformasi dalam masyarakat Arab di masa lalu. Ketika Nabi saw lahir ke dunia, anak perempuan di masa pra-Islam dimakamkan hidup-hidup di dunia Arab. Selain itu, pria Arab dahulu memiliki banyak istri dan bercerai pada waktu itu.
Karena itu, menurutnya, Islam mengakhiri itu semua dengan membatasi jumlah perceraian menjadi tiga, dan yang ketiga tidak dapat dibatalkan. Selain itu, juga membatasi memiliki empat istri namun dengan syarat dan ketentuan yang jelas. Sang suami diperbolehkan berpoligami asalkan bisa berlaku adil terhadap para istrinya.
"Itu adalah tugas berat bagi siapapun," ujarnya.
Sebenarnya, kata Ziya, yang membuat komunitas Muslim membatasi lebih banyak ruang bagi wanita lebih kepada struktural. Ia mengatakan, masjid-masjid dirancang oleh pria dan untuk pria.
Ketika masjid dibangun, wanita tidak digambarkan dalam rencana hal-hal di sana. Di beberapa tempat, di mana wanita datang untuk shalat, bagian wanita dihilangkan dengan baik dari aula utama. Bahkan, seringkali dengan sistem audio yang salah. Selain itu, menurutnya, tidak ada ketentuan untuk berwudhu dan lainnya. Namun, kini wanita yang telah diindoktrinasi lama mulai angkat bicara.
"Kami memiliki kasus cendekiawan wanita Farhat Hashmi yang memberikan komentar independennya sendiri tentang Alquran. Awalnya, dia dikritik oleh para maulana. Ketika dia mendapatkan suaranya, mereka terdiam," kata Ziya.
Sementara itu, Ziya enggan membahas soal apakah putusan pengadilan akan memungkinkan perempuan masuk ke masjid. Faktanya, kata dia, wanita tidak ditolak atau diabaikan oleh agama. Jika pengadilan mengambil keputusan berdasarkan Alquran, kata dia, para wanita akan memiliki pijakan yang kuat.
"Jika itu sesuai dengan Konstitusi, mereka masih akan ditempatkan dengan baik. Saya tidak melihat kebuntuan," tambahnya.
Ikuti Whatsapp Channel Republika
