Senin 28 Oct 2019 09:09 WIB

Begini Proses Sertifikasi Halal Menurut BPJPH

Ada rencana strategis yang disiapkam BPJPH.

Mastuki. Kepala Biro Humas, Data dan Informasi Kementerian Agama, Mastuki memberikan paparan saat wawancara bersama Republika di Kantor Kementerian Agama, Jakarta, Selasa (5/3).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Mastuki. Kepala Biro Humas, Data dan Informasi Kementerian Agama, Mastuki memberikan paparan saat wawancara bersama Republika di Kantor Kementerian Agama, Jakarta, Selasa (5/3).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sejak 17 Oktober sertifikasi halal sudah sepenuhnya dijalankan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Proses registrasi hingga penerbitan sertifikat halal dilakukan oleh badan tersebut berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Namun demikian, ada tantangan yang dihadapi badan tersebut. Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Mastuki HS menjelaskan, permasalahan yang ada dan rencana strategis yang akan dilakukan badan ini untuk memaksimalkan sertifikasi halal. Penjelasan tersebut disampaikannya kepada wartawan Republika Ratna Ajeng Tejomukti, beberapa waktu lalu. berikut petikannya.

Bagaimana dengan proses sertifikasi halal?

Salah satu yang berubah dari mekanisme penyelenggaraan jaminan produk halal dibandingkan sebelumnya adalah proses sertifikasi halal. Jika sebelumnya prosesnya berada di MUI, relatif mudah koordinasinya dalam satu payung lembaga. Dengan lahirnya BPJPH, proses sertifikasi ditangani beberapa lembaga: BPJPH, LPH, dan MUI plus kementerian terkait.

Pendaftaran produk dari pelaku usaha harus melalui BPJPH. Setelah pemeriksaan dokumen kelengkapan, berkas diserahkan ke LPH (Lembaga Pemeriksa Halal) untuk diperiksa atau uji laboratorium. Hasil pemeriksaan/pengujian yang sudah diverifikasi BPJPH selanjutnya diajukan ke MUI untuk mendapatkan penetapan kehalalan produk melalui sidang fatwa.

Barulah jika dinyatakan halal oleh MUI, BPJPH mengeluarkan serfifikat halal. Mbulet gak tuh? Terkesan berbelit-belit, tapi itulah prosedur dan mekanisme baru yang harus ditempuh pelaku usaha. Dalam perumusan di PMA, tata cara sertifikasi halal ini menguras energi tersendiri. Belum lagi mekanisme pembayarannya. Sebagai Satker PK-BLU (Pengelola Keuang an Badan Layanan Umum), BPJPH tak dapat menetapkan biaya layanan sendiri.

Namun, dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang tarif. Ini dijadikan patokan dalam pengenaan biaya layanan yang banyak: sertifikasi halal, akreditasi LPH, registrasi SHLN, registrasi auditor halal, uji kompetensi, pendidikan dan pelatihan penyelia halal, dan lain-lain. Koordinasi penetapan tarif layanan dengan Kemenkeu tak kalah peliknya. Menyangkut besarannya maupun kom ponen dan perinciannya. Menggunakan standar fix costatau variabel cost(rentang biaya).

Satu harga untuk semua atau meng gunakan range? Sementara itu, jenis pro duk dan variannya begitu banyak. Ada produk yang bahannya sederhana, terdiri atas tiga atau lima bahan. Di sisi lain ada bahan yang titik kritisnya sampai bertingkat A-B-C-D. No risk, low risksampai high risk. Dalam menentukan definisi produk, jenis produk, kelompok produk, dan varian seperti itu, debatnya panjang. Apa lagi, kategori pelaku usaha atau perusahaan juga berlevel-level: besar, menengah, kecil, mikro, bahkan supermikro.

 

Ada

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement