REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof KH Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Alquran konsisten selalu mendahulukan kata ar-Rahman baru ar-Rahim sesungguhnya untuk mengisyaratkan kita bahwa perjuangan menuju puncak harus melalui anak tangga pertama. Untuk mencapai makam makrifat lebih tinggi tidak bisa meninggalkan fikih dan syariah.
Orang yang berusaha mencapai puncak makam spiritual tanpa mengindahkan aspek fikih dan syariah sulit dibayangkan akan mencapai tujuan tersebut. Kalangan sufi menunjukkan tiga jalan menuju puncak, yaitu syariah, tarekat, dan hakikat. Ketiga jalan ini harus terintegrasi satu sama lain.
Sehubungan dengan ini, Ibn 'Athaillah pernah mengingatkan kita: Man tashawwafa wa lam yatafaqah faqad tazandaq, wa man tafaqqaha walam yatashawwaf faqad tafassak, wa man jama'a bainahuma faqad tashaddaqah (Barang siapa yang bertasawuf tanpa berfikih maka ia zindik, barang siapa yang berfikih tanpa bertasawuf maka ia fasik, dan barang siapa yang menggabungkan keduanya maka itulah yang akan mencapai puncak kebenaran).
Ar-Rahman adalah simbol kemahapengasihan Allah SWT, sebagaimana ditegaskan dalam ayat: Warahmati wasi'at kulli syai'in (Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu). Sifat ar-Rahman menunjukkan betapa Allah SWT dan seluruh makhluk-Nya tidak bisa dipisahkan. Siapa pun dan apa pun makhluk-Nya pasti merasakan efek kasih sayang Allah SWT. Apakah benda mati atau benda hidup, alam gaib dan alam syahadah, semuanya mendapatkan rahmat-Nya.
Sungguhpun makhluk-Nya kafir dan menghina diri-Nya seperti iblis dan para pengikutnya tetap ia mendapatkan rahmat-Nya. Dari segi inilah Ibnu Arabi pernah menyatakan di dalam kitab Futuhat al-Makkiyah, semua orang pada saatnya akan masuk ke dalam surga, sungguhpun mereka tidak pernah melakukan kebaikan. Allah SWT menciptakan seluruh makhluk-Nya dengan cinta dan karenanya segenap makhluk-Nya pasti akan mendapatkan kasih-Nya.
Ar-Rahman adalah kasih-sayang "generik" yang diberikan Allah SWT kepada seluruh makhluk-Nya. Sedangkan, ar-Rahim adalah kasih sayang-Nya yang spesial dikhususkan kepada hamba-Nya yang khusus pula. Kelompok yang akan mendapatkan kasih sayang ar-Rahim analoginya ialah mereka yang sudah melewati anak tangga pertama.
Orang-orang yang akan mendapatkan rahmat rahimiyyah Allah SWT ialah mereka yang sudah sampai ke makam sosial dan spiritual yang lebih tinggi, yang memang wajar untuk mendapatkannya. Allah SWT memang Maha Pengasih, tetapi juga Mahaadil yang tentu tidak menyamakan antara orang-orang yang telah menempuh perjuangan panjang dan mahasulit dengan orang-orang yang tidak melakukan usaha apa pun.
Soal berapa lama hamba-Nya akan berada di dalam rahmat rahmaniyyah baru hijrah ke rahmat rahimiyyah, hanya Allah SWT yang Mahatahu. Yang pasti bahwa penetapan al-Rahman dan al-Rahim sebagai induk nama-Nya (al-umm al-asma'), yang diisyaratkan dengan pemberian nama itu menempel pada kata bismillah ditambah pengulangan penyebutannya begitu banyak mengisyaratkan bahwa Allah SWT lebih menonjol sebagai Mahaengasih dan Penyayang ketimbang sebagai Maha Penghukum dan Maha Pendendam (al-muntaqim). Kenyataan ini memberikan rasa optimisme kepada siapa pun hamba-Nya yang pernah melakukan kekeliruan dan kesalahan untuk segera kembali (taubah) keada-Nya.
Meski demikian, orang-orang yang mendapatkan rahmat rahmaniyyah berusaha menghindari dosa karena takut tersiksa di neraka. Sedangkan, orang-orang yang mendapatkan rahmat rahimiyyah berusaha menghindari dosa karena takut tersiksa dengan rasa malu terhadap Allah, Sang Mahapengasih dan Mahapenyayang. Orang yang tobat lalu menjauhi dosa karena takut tersiksa dengan neraka biasa disebut inabah.
Sedangkan, orang yang taubat lalu menjauhi dosa karena takut tersiksa dengan rasa malu kepada Tuhan biasa disebut istijabah. Orang yang istijabah lebih tersiksa rasa malu kepada Tuhannya ketimbang panasnya api neraka. Semoga kita mendapatkan rahmat rahimiyyah-Nya.