Senin 14 Oct 2019 17:04 WIB

Apa Status Anak yang Lahir di Luar Pernikahan Sah?

Status anak yang lahir di luar pernikahan sah ikut pada nasab istri.

Pernikahan (ilustrasi).
Foto: Republika/Tahta Aidilla/ca
Pernikahan (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Perzinaan menjadi perbuatan yang dilarang agama. Alquran bahkan secara khusus melarang manusia untuk mendekati zina. Perbuatan ini pun tergolong sebagai jarimah atau tindak pidana kejahatan. "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (QS al-Isra:32).

Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan sah menurut ketentuan agama. Anak ini tidak mempunyai hubungan nasab, wali, nikah, waris, dan nafaqah dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya. Anak hasil zina hanya memiliki hubungan nasab, waris, dan nafkah dengan ibu dan keluarga ibunya.

Baca Juga

"Dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya, dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan mawla-mawlamu." (QS al- Ahzab:4-5). 

Hadis yang bersumber dari Aisyah RA mengatakan, Sa'ad bin Abi Waqash dan Abd bin Zamaah pernah berebut terhadap seorang anak. Lantas Sa'ad berkata: "Wahai Rasulullah, anak ini adalah anak saudara saya Utbah bin Abi Waqqash. Dia sampaikan ke saya bahwasanya ia adalah anaknya. Lihatlah kemiripannya." Abd bin Zama'ah juga ber kata: "Anak ini saudaraku wahai Rasulullah. Ia terlahir dari pemilik kasur (firasy) ayahku dari ibunya."

Rasulullah SAW pun melihat rupa anak tersebut dan beliau melihat keserupaan yang jelas dengan Utbah. Rasul bersabda: "Wahai Abd bin Zama'ah. Anak itu adalah bagi pemilik kasur/suami dari perempuan yang melahirkan (firasy) dan bagi pezina adalah (dihukum) batu dan berhijablah darinya wahai SAW dah binti Zam'ah. Aisyah berkata: Ia tak pernah melihat Sawdah sama sekali." (HR al-Bukhari-Muslim).

Diriwayatkan dari Imam Syafi'i adalah dua pengertian tentang makna anak itu menjadi hak pemilik kasur suami. Pertama, anak menjadi hak (pemilik kasur) suami selama ia tidak menafikan/mengingkarinya. Apabila (pemilik kasur) suami menafikan anak tersebut (tidak mengakuinya) dengan prosedur yang diakui keabsahannya dalam syariah. Contohnya melakukan lian. Anak itu pun dinyatakan bukan sebagai anaknya.

Kedua, apabila bersengketa (terkait kepemilikan anak) antara (pemilik kasur) suami dengan laki-laki yang menzinai istri/budak wanitanya, anak tersebut menjadi hak (pemilik kasur) suami. Adapun maksud dari "bagi pezina adalah batu" adalah lelaki pezina itu keterhalangan dan keputusasaan. Maksud dari kata al-Ahar dengan menggunakan dua fathah (pada huruf 'ain dan ha) adalah zina. Ada yang berpendapat bahwa kata itu digunakan untuk perzinaan pada malam hari.

Karena itu, makna dari keputusasaan di sini adalah laki-laki pezina tidak mendapatkan hak nasab atas anak yang dilahirkan dari perzinaannya. Pemilihan kata keputusasaan disini sesuai dengan tradisi bangsa Arab yang menyatakan, "Baginya ada batu; atau dimulutnya ada batu bagi orang yang telah berputus asa dari harapan."

Imam Ibnu Hazm dalam kitab al-Muhalla menjelaskan, anak itu dinasabkan kepada ibunya. Jika ibunya berzina dan kemudian mengandungnya. Tidak dinasabkan kepada lelakinya. Karena itu, Imam Ibnu Nujaim berpendapat bahwa anak hasil zina dan lian hanya mendapatkan hak waris dari pihak ibu. Nasabnya dari pihak bapak telah terputus. Ia pun tidak mendapatkan hak waris dari pihak bapak. Sementara itu, kejelasan nasabnya hanya melalui pihak ibu. Ia pun memiliki hak waris dari pihak ibu, saudara perempuan seibu dengan fardh saja (bagian tertentu), demikian pula dengan ibu dan saudara perempuannya yang seibu. Ia mendapatkan bagian fardh (tertentu) tidak dengan jalan lain.

Meski demikian, anak ini tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan kedua orang tuanya. Pezina dikenakan hukum an hadd oleh pihak berwenang untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh an-nasl). "Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemudaratannya kembali kepada dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kemudian, kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan." (QS al- Anam: 64).

Majelis Ulama Indonesia (MUI) lewat Fatwa Nomor 11 Tahun 2012 menjelaskan, pemerintah berwenang menjatuhkan hukuman tazir kepada pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkannya mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut. Memberikan harta setelah ia meninggal melalui washiyyah wajibah. Hukuman ini bertujuan untuk melindungi anak. Bukan untuk mengesahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya.

Pendapat mayoritas mazhab fikih Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, dan Hanbaliyah yang menyatakan bahwa prinsip penetapan nasab adalah karena adanya hubungan pernikahan yang sah. Selain karena pernikahan yang sah, tidak ada akibat hukum hubungan nasab.

MUI juga meminta DPR dan pemerintah untuk segera menyusun peraturan perundang-undang an yang mengatur tentang hukum an berat terhadap pelaku perzinaan. Hukuman ini bisa berfungsi sebagai zawajir dan mawani (membuat pelaku menjadi jera dan orang yang belum melakukan menjadi takut untuk melakukannya). MUI juga meminta agar pemerintah memasukkan zina sebagai delik umum bukan delik aduan.

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement