Ahad 13 Oct 2019 14:00 WIB

Islam dan Pesantren Akar Radikalisme di Jawa?

Benarkah akar radikalisme di Jawa itu Islam dan pesantren?

Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920
Foto: Gahetna.nil
Raja Pakubuwono X ketika berkunjung ke Masjid Luar Batang 1920

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Berikut ini adalah wawancara dengan guru besar sejarah Islam Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Prof DR Hermanu Joebagio. Wawancara ini dilakukan di ruangan kerjanya di UNS beberapa waktu silam.

Wawancara ini perlu saya unggah kembali biar publik mengerti, paham, dan mahfum apa itu asal muasal serta akar radikalisme Islam di Jawa. Benarkan apa yang disebut gerakan radikal Islam muncul begitu saja, yakni semata sebagai imbas atas paham keagamaan, atau muncul sebagai akibat lain dari tarik menarik sikap kekuasaan.

Republika.co.id:

Jadi begini Profesor kita bicara soal radikalisme di Islam Jawa. Belakangan ini ada data BNPT yang menyatakan, basis radikal itu Solo, Jogja, Boyolali, dan Jawa Tengah. Sebenarnya kalau dirunut itu dari mana asal usul radikalisme Islam di Jawa?

Hermanu: Kalau kita melihat di beberapa literatur, proses Islamisasi itu ada beberapa proses radikal untuk merebut kekuasaan. Jadi ketika proses Islamisasi, orang Islam baik itu dari Arab maupun Cina, berusaha merebut kekuasaan dari orang pribumi. Itu awal radikalisme. Kemudian dalam perjalanannya, proses radikal terus berjalan. Ketika muncul kerajaan Demak. Kerajaan Demak itu ada proses radikalisasi ulama-ulama terhadap kelompok Syekh Siti Jenar, itu radikalisasi yang kedua.

Kalau saya merunut Syekh Siti Jenar, dia berasal dari Yaman, dan dia punya keagamaan yang begitu bagus tetapi dia tidak setuju bahwa ulama itu melakukan praktek politik kekuasaan. Itu tuh dia tidak setuju. Karena itu timbul suatu stigma terhadap Syekh Siti Djenar, bahwa Syekh Siti Jenar menganut dan menyebarkah filosofi wahdatul wujud. Nah itu yang kedua.

Kemudian yang ketiga, pada masa Sultan Agung, stigma terhadap orang suci kemudian dianggap sebagai proses radikalisasi. Nah itu yang paling berbahaya dalam konteks masa lalu, di mana elit itu selalu menstigma orang suci, ulama, melakukan gerakan yang kemudian disebut wahdatul wujud itu. Itulah yang kemudian saya anggap sebagai hal atau pemikiran paling bahaya.

Kenyataan tersebut (elite adalah pihak yang membuat stigma, red) bisa terlihat di dalam Serat Cebolek yang menceritakan mengenai bagaimana Kyai Haji Ahmad Mutamakkin itu distigma pihak kraton (kekuasaan) bahwa dia melakukan ajaran sesat. Jadi saya bisa menafsirkan itu stigma radikal itu justru muncul dari elite. Bukan dari tokoh agama. Nah yang konteks dari sekarang itu berbeda, justru radikal itu muncul dari bawah. Jadi pertanyaan saya ada persoalan apa ini...?

Republika.co.id:  Melihat fakta itu, dalam sejarah dan masyarakat Jawa radikalisme, termasuk gerakan Islam radikal, apakah itu sebenarnya sekadar ekspresi politik?



Hermanu: Ya, memang begitu. Itu sebuah ekspresi politik, yakni ekspresi kekecewaan mereka terhadap situasi politik dan ekonomi pada sebuah kekuasaan atau negara.



Misalnya, dalam soal Perang Jawa atau Perang Diponegoro. Gerakan perlawanan ini muncul sebagai ekspresi bagaimana dia termarginalkan ketika ingin mempunyai wilayah itu, ternyata dia tidak merdeka. Pangeran Diponegoro mempunyai rumah, kemudian tiba-tiba muncul garis patok dan menjadikan wilayah itu milik Belanda. Ini kan menjadi persoalan serius!



Republika.co.id:

Menurut Anda, mengapa ‘basis  perlawanan’ itu berbasis di Solo ke barat, atau istilahnya gampangnya berada di wilayah Jawa Tengah pedalaman, Jawa Tengah selatan itu. Mengapa juga wilayah ini semenjak zaman kolonial sampai sekarang menjadi basis rekrutmen tentara. Apa memang orang dari daerah itu dari semenjak dulu sudah terbiasa dengan hal berbau keprajuritan.



Hermanu:

Daerah Jawa Tengah selatan itu kan daerah yang sangat kuat filosofi agamanya. Dan, daerah ini selalu menjadi kawasan marginal oleh pemerintah Belanda. Nah, ketika ini dimarginalkan, daerah-daerah ini, yang tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah, maka daerah ini merasa dianaktirikan. Nah, inilah awal proses radikalisme di Jawa."



Republika.co.id:

Lalu, apa yang menjadi penyebab wilayah ini dimarginalkan?  Apa karena mereka memeluk agama Islam?



Hermanu: Kekuasaan kolonial Belanda dulu menganggap orang di sekitar pesantren bukan warga negara. Ini kan kebijakan yang sudah luar biasa sebenarnya, atau melakukan stigma yang luar biasa. Ini berlanjut ketika garis politik penguasa --seperti Pak Harto--yang selalu memarginalkan kelompok Islam. Akibatnya, ketika reformasi atau pergantian kekuasaan, wilayah itu pun ikut meledak. Kan begitu? Nah, kalau pemerintah sekarang juga akan selalu begitu, mereka juga akan mengalami situasi yang sama berbahayanya.



Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement