Rabu 09 Oct 2019 19:49 WIB

Masjid di Singapura Diminta tak Cari Donasi ke Luar Negeri

Masjid diminta menggalang donasi dari umat Islam setempat.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Agung Sasongko
Masjid Jamae atau Masjid Chulia di Jalan South Bridge distrik Chinatown Singapura.
Foto: Republika/Idealisa Masyrafina
Masjid Jamae atau Masjid Chulia di Jalan South Bridge distrik Chinatown Singapura.

REPUBLIKA.CO.ID,SINGAPURA -- Menteri Senior Negara untuk Pertahanan dan Luar Negeri Singapura, Maliki Osman, mengatakan pada Senin (7/10) lalu, bahwa masjid-masjid di negara itu dibangun dan diperbaiki dengan menggunakan dana yang disumbangkan oleh umat Islam setempat. Hal ini, menurutnya, memastikan agar komunitas Muslim di Singapura tidak dapat dengan mudah dipengaruhi oleh pihak asing. 

Hal ini ia ungkapkan saat berbicara tentang cara unik di mana Islam dipraktikkan di Singapura. Ia mengatakan, bahwa komunitas Muslim di sana memetakan jalannya sendiri, namun tetap menghormati konteks multi-agama di negara itu. Kendati begitu, Muslim di sana menurutnya tetap berpegang erat pada dasar-dasar Islam. 

"Masyarakat mengakui pentingnya mempraktikkan agama seseorang dengan cara yang menghormati orang-orang yang mungkin memiliki keyakinan yang berbeda," kata Osman di Parlemen selama debat tentang amandemen UU Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama (MRHA), dilansir di The Straits Times, Rabu (9/10).

Ia mengatakan, komunitas dan Dewan Agama Islam Singapura (Muis) mendukung perubahan MHRA, yang akan memungkinkan pemerintah bertindak cepat terhadap ancaman pada kerukunan umat beragama dan mencegah pengaruh asing dalam organisasi keagamaan. Bahkan, kata Osman, praktik masjid dan lembaga keagamaan di bawah Muis sudah selaras dengan amandemen, misalnya soal pengaturan dana pembangunan masjid.

Uang dalam dana tersebut berasal dari kontribusi bulanan setiap Muslim yang bekerja di Singapura. Uang tersebut digunakan untuk membangun dan memperbaiki 75 masjid yang ada di negara itu. Hal ini menurut Osman memungkinkan komunitas Muslim untuk mandiri. 

"Kita dapat mengatasi kebutuhan kita sendiri tanpa menjadi rentan terhadap manipulasi oleh pihak asing untuk agenda mereka sendiri dan mempertaruhkan perdamaian dan harmoni yang telah kita nikmati sebagai sebuah masyarakat," lanjutnya.

Osman juga menekankan pentingnya menjaga ruang bersama bagi masyarakat dari semua ras dan agama. Hal ini diungkapkannya sebagai tanggapan terhadap Partai Buruh Faisal Manap (Aljunied GRC) yang mengatakan bahwa toleransi beragama dapat dicapai tanpa pengikut agama manapun yang harus mengorbankan nilai-nilai dan keyakinan mereka. Faisal mengutip pengalaman teman ayahnya, yang putrinya diizinkan mengenakan jilbab dan pakaian longgar di sekolah menengah negeri di Melbourne, Australia.

"Mereka tidak mempraktekkan toleransi dengan meminta para pengikut agama untuk mengkompromikan iman mereka atau menjadi kurang Islami demi integrasi," ujarnya.

Dalam tanggapannya, Osman juga mengatakan bahwa sekolah di Singapura adalah ruang bersama yang kritis, di mana identitas dan pengalaman bersama dapat dibina pada anak-anak dari semua ras dan agama. Di Singapura, kata dia, masyarakat harus menentukan apa yang terbaik untuk konteks multi-agama mereka yang unik. 

Ia menambahkan, bahwa agama pada dasarnya adalah masalah yang sangat pribadi. Namun, menurutnya, komunitas Muslim mengakui peran bahwa hukum bermain dalam memungkinkan komunitas yang berbeda untuk hidup berdampingan secara harmonis. 

"Undang-undang menetapkan warna untuk norma-norma yang kami hargai dan junjung tinggi sebagai masyarakat, dan dalam kasus MRHA, undang-undang adalah perlindungan utama bagi kerukunan umat beragama," tambahnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement