Senin 07 Oct 2019 23:13 WIB

Pengembaraan Imam Muslim Mempelajari Hadis

Imam Muslim sejak usia belia mempelajari hadis.

Rep: Islam Digest Republika/ Red: Agung Sasongko
Hadist (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Hadist (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagian umat Muslim terutama yang pernah belajar ilmu hadis pasti tahu atau setidaknya pernah mendengar kitab al-Musnad ash-Shahih atau al-Jami' ash-Shahih, yang lebih dikenal dengan Shahih Muslim. Kitab yang satu ini menempati kedudukan istimewa dalam tradisi periwayatan hadis. Dan, dipercaya sebagai kitab hadis terbaik kedua setelah kitab Shahih Bukhari karya Imam Bukhari.

Siapa gerangan pengarang kitab itu? Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Tahdzib at-Tahdzib menyebutkan, penulis kitab Shahih Muslim adalah seorang pedagang pakaian yang selama 15 tahun menghabiskan waktunya untuk menyusun dan meneliti hadis beserta riwayat-riwayatnya.

Nama lengkapnya adalah Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Nisapuri, atau yang lebih dikenal dengan Imam Muslim. Nama Nisapuri dinisbatkan kepada tempat kelahiran beliau, yaitu Nisapur yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia.

Dalam sejarah Islam, kawasan Nisapur (Nisabur) terkenal dengan sebutan Maa Wara'a an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Imam Muslim lahir pada tahun 204 H atau 819 M.

Demikian sejarawan Muslim ternama, Ibnu Katsir, menyebutkan Imam Muslim dalam kitabnya Al-Bidayah wa an-Nihayah. Namun, ada juga yang berpendapat beliau lahir pada tahun 202 H atau 206 H. Seorang ahli hadis kontemporer asal India, Muhammad Mustafa Azami, lebih menyetujui kelahiran beliau pada tahun 204 H.

Namun, menurut Azami dalam Studies In Hadith Methodology and Literature, sejarah tidak dapat melacak garis keturunan dan keluarga sang imam. Sejarah hanya mencatat aktivitas Imam Muslim dalam proses pembelajaran dan periwayatan hadis. Pada masa beliau, rihlah (pengembaraan) untuk mencari hadis merupakan aktivitas yang sangat penting. Imam Muslim pun tak ketinggalan mengunjungi hampir seluruh pusat-pusat pengajaran hadis.

Adz-Dzahabi dalam karyanya Tadzkirat al-Hufazh menyebutkan bahwa Imam Muslim mulai mempelajari hadis pada 218 H. Azami setuju dengan pendapat tersebut. Ini artinya bahwa Imam Muslim masih berusia sangat belia, sekitar 12 sampai 15 tahun, saat mulai mempelajari hadis.

Bahkan, Azami berpendapat, sebelum mempelajari hadis, sang imam terlebih dahulu telah mempelajari Alquran, bahasa Arab, dan ilmu tata bahasa Arab. Karena, menurutnya, pola pendidikan pada masa itu memang menuntut jenjang pembelajaran yang demikian.

Pengembaraan Imam Muslim dari satu negara ke negara lain dilakukan berkali-kali. Akan tetapi, jelas Azami, beliau baru benar-benar berketetapan hati mempelajari hadis pada 230 H. Pada periode itu, sang ahli hadis menjelajah hingga ke Khurasan, Irak, Syria, Hijaz, dan Mesir. Di Khurasan, ia berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Irak, ia belajar kepada Ahmad bin Hambal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz, belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas'Abuzar; serta di Mesir, berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya.

Selain nama-nama di atas, dalam Ensiklopedia Islam disebutkan, guru Imam Muslim adalah ahli hadis terkenal, yaitu Imam Bukhari. Imam Muslim belajar hadis kepada Imam Bukhari. Kunjungan Imam Bukhari ke Nisapur, dimanfaatkan Imam Muslim untuk belajar kepadanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement