Sabtu 09 Nov 2019 10:00 WIB

Jihad dan Makrifat Santri Orang Jawa

Jihad dan Makrifat Santri Diponegoro

 Para bangsawan pengikut Diponegoro yang menjadi Kiai dengan memimpin Pesantren Takeran.
Foto: foto koleksi Abdul Hadi WM
Para bangsawan pengikut Diponegoro yang menjadi Kiai dengan memimpin Pesantren Takeran.

Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Makrifat berarti tolak penduaan:

karena badan ini pasti musnah

tak usah merisaukannya,

kehadirian khayali, terlalu tak berarti untuk

dipertahankan.

Berusahalah hanya demi

Hakikat sejati Yang Mahaada

Makna Islami...

            

Bait puisi itu memang jarang diketahui publik. Namun, yang jelas rangkaian kalimat itu merupakan curahan hati ketika Pangeran Diponegoro (1785-1855) menuliskan kisah hidupnya dalam pengasingan di Makassar. Isinya lirih tapi tegas menyatakan arah sisi spiritualnya.

Sejarawan Inggris Peter Carey yang sudah lebih dari 30 tahun meneliti sosok bangsawan Keraton Yogyakarta ini menyatakan tak bisa dimungkiri dia merupakan seorang santri. Kepribadiannya kuat sebagai orang Muslim yang taat pelaku penganut tarekat Naqsabandiyah/Syatariah.

''Memang dia banyak kelemahan. Itu wajar sebagai manusia. Tapi, dia bukan orang munafik. Sisi spiritual Diponegoro adalah seorang santri,'' kata Carey. Dia pun menambahkan, sikap dia sebagai "wong Islam" tampak nyata bila menelusuri masa hidupnya. Semenjak kecil, dia mendalami ajaran Islam serta hidup akrab dengan dunia aktvitas Islam di Jawa (pesantren).

Harus diakui, sisi Pangeran Diponegoro sebagai santri belum banyak diketahui. Namun, perlahan-lahan publik mulai tahu ketika Peter Carey menerbitkan tiga buku mengenai Diponegoro, Kuasa Ramalan, Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. Buku ini terjual laris di pasaran. Isyarat ini kemudian juga terbukti dengan tingginya minat para pengunjung pameran lukisan dan artefak "Aku Diponegoro" yang beberapa waktu lalu digelar di Galeri Nasional Jakarta.

Belakangan juga sudah terbuit buku manuskrip karyanya yang ditulis selama masa pengasingan di Manado: Babad Dipanegara. Buku ini berisi tentang curahan pemikirannya mengenai banyak hal, misalnya soal sejarah Majapahit, kisah nabi-nabi, muncul serta tumbuhnya kerajaan Islam di Jawa, kisah para sunan, konflik Pecinan, Perang Jawa yang dipimpinnya, hingga soal pengasingannya. Naskah ini pun kini sudah diakui sebagai Memory of The Word melaui Unesco. Dan dalam buku itu juga bisa ditelusuri semangat 'Jihad' Diponegoro.

Sejarawan Islam terkemuka Azyumardi Azra mengatakan, tak bisa dimungkiri Diponegoro yang bernama kecil Pangeran Antawirya dan Bendara Raden Mas Mutahar sebagai seorang santri dan pengikut tarekat. Dan, bila keislamannya tak sempurna, itu wajar karena dia manusia biasa. Apalagi, pemahamanan Islam di benak orang Jawa waktu dia hidup juga masih tak sedalam masa kini.

''Pada awalnya memang dia bukan santri. Tapi, ingat gerak zaman sejak abad ke-17,18, 19 di Jawa itu terjadi intensifikasi keislaman. Peran tarekat terus meningkat. Bahkan, kemudian terjadi proses eksklusivikasi tarekat, yakni semakin ketatnya sikap para penganut tarekat dalam menghadapi Belanda,'' katanya.

Dengan kata lain, sebagai seorang ningrat yang kemudian mengalami proses santrinisasi berkat meluasnya ajaran dan jaringan yang dibawa para ulama yang mampu menjangkau ke wilayah Jawa Tengah. Proses keislamannya itu dimulai semenjak masa kanak-kanak ketika dia dibawa nenek buyutnya ke luar dari keraton untuk tinggal di perdesaan Tegalrejo. Setelah tinggal di Tegalrejo itulah, dia kemudian berkenalan ke dalam para penganut tarekat Naqsabandiyah/Syatariah.

Pada sisi lain, Diponegoro begitu kuat melawan kolonial karena dia begitu menghayati ajaran tarekat yang dianutnya. Dengan begitu, kemudian menjadi masuk akal bila di kemudian hari Kolonial Belanda begitu 'ketakutan' terhadap ajaran tarekat karena secara terbuka menyatakan melawan penjajahan adalah sebuah jihad. ''Dalam hal ini pun, Diponegoro mengalami proses intensifikasi rohani yang sangat mendalam. Ini terlihat seiring bertambahnya usia, maka semakin dalam pemahamannya terhadap ajaran Islam,'' ujar Azyumardi.

Bukan hanya itu, seiring dengan meletusnya perang tersebut, mulai saat itu terjadi pula proses intensifikasi Islam di Indonesua, khususnya di Jawa. Ini karena sebelum itu, yakni pada abad ke-17, Jawa belum menjadi pusat keagamaan. ''Pusat keagamaan sebelum abad itu masih berada di Aceh, Palembang, dan Banjarmasin. Tapi, mulai abad ke-19, Jawa kemudian berubah menjadi pusat jaringan ulama. Nah, salah satu sarananya adalah tarekat itu. Dan, Diponegoro tertarik ke situ,'' katanya.

Fakta berlangsungnya proses intensifikasi rohani Diponegoro, lanjut Azyumardi, makin terlihat jelas ketika dia berkali-kali menyatakan ingin naik haji. Keinginan ini sudah dinyatakan semenjak 1927 atau di tengah kecamuk perang. Ia menyatakan bersedia mengakhiri perang bila diizinkan pergi berhaji ke Tanah Suci Makkah.

Dalam istilah tarekatnya, dari waktu ke waktu 'makamat' (tingkatan kesufian)-nya terus naik ke jenjang yang lebih tinggi. Ini sama dengan pengalaman rohani Syekh Yusuf al-Makassari yang dibuang ke Afrika Selatan itu. Semakin bertambahnya usia Syekh Yusuf pun terus mengalami peningkatan 'makamat' kesufiannya,'' ujarnya.

Menurut Azyumardi, para sejarawan kini sepakat Perang Diponegoro memang menjadi "landasan baru" atas terjadinya perubahan di Indonesia, khususnya Jawa. Perang ini jelas merupakan perlawanan kaum santri. Jadi, menjadi terlalu sederhana bila dalam "sejarah resmi" dinyatakan perang ini terjadi karena soal intrik pertikaian di kalangan Istana Yogyakarta, atau soal tanah Diponegoro yang dikuasai Belanda dan akan dijadikan jalan yang uang tol (pajak) bagi pelintasnya dilakukan orang-orang Cina.

Fakta lainnya, Perang Jawa yang diletuskan Diponegoro menjadi bukti yang kesekian kalinya bahwa soal agama selalu terkait dengan soal politik (kekuasaan). Dalam perang ini, ajaran Islam selain memang terkait dengan semangat pelaku utamanya, di pihak lain perang ini juga menjadi penanda awal "menggeliatnya" penyebaran ajaran Kristen di Jawa.

Ini, misalnya, setelah perang usai, mulai saat itulah muncul pendirian gereja di wilayah kerajaan Mataram itu. Fenomena tersebut menjadi bukti yang absah atas menduanya sikap kolonial Belanda dalam soal tindakan penyebaran agama yang dilakukan para misionaris.

Azyumardi menegaskan, memang secara resmi pemerintah kolonial Belanda tidak mendukung proses Kristenisasi. Namun, ini terbantahkan melalui penelitian Prof Chusnul Aqib Suminto. Dalam penelitian untuk kepentingan disertasinya, dia menunjukkan bahwa secara diam-diam Belanda memfasilitasi gereja dan lembaga-lembaganya untuk melakukan kegiatan misionaris.

''Nah, fakta ini silakan baca pada penelitian tersebut. Dalam laporan kantor untuk urusan-urusan pribumi, Belanda pada masa kolonial terbaca jelas seperti apa bantuan itu dan berapa banyak uang yang diberikan pemerintah kolonial untuk kegiatan misi agama itu. Hal yang sama juga terjadi pada orang semacam Diponegoro. Perlawanan yang dia lakukan jelas merupakan perang politik melawan penyebaran agama yang dibawa para kolonial Eropa,'' katanya.

Melihat kenyataan tersebut, maka sosok Diponegoro merupakan contoh yang baik bagi seseorang yang terus-menerus melakukan upaya perbaikan rohaninya. Selain itu, dia juga menjadi tokoh yang baik bagi orang yang tidak mau hidup terjajah.

''Diponegoro itu pahlawan Islam. Dan, yang menjadi tulang punggung spiritualnya sebagai pemimpin perang Jawa adalah ajaran tasawuf atau tarikat. Makanya, jangan heran bila pasukan Diponegoro, ya sosok orang seperti Kiai Mojo dan sebagian besar adalah para santri. Sosok dia harus menjadi teladan bagi kita untuk terus memelihara kemerdekaan kita sebagai Muslim dan sebagai warga bangsa,'' kata Azyumardi menandaskan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement