Kamis 26 Sep 2019 12:00 WIB

Peraturan Turunan UU Pesantren Harus Segera Dibuat

RUU Pesantren resmi disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Agung Sasongko
Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Ali Taher Parasong
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Ketua Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Ali Taher Parasong

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi VIII DPR Ali Taher mengakui UU Pesantren yang baru saja disahkan pada Selasa (24/9) kemarin ini masih bersifat umum sehingga masih banyak yang harus dirinci melalui peraturan turunannya. Menurutnya, ada beberapa hal memang yang perlu diatur dalam aturan-aturan teknis.

"Misalnya aturan-aturan teknis tentang kriteria pesantren, kemudian tentang kriteria tenaga pendidik, standarisasi (tenaga pendidik), kemudian sertifikasi, termasuk juga dana abadi dan lainnya. Itu harus segera dibuat turunannya," tutur dia kepada Republika.co.id, Rabu (25/9).

Peraturan turunan yang dimaksud, kata Ali, bisa berupa peraturan pemerintah, presiden, ataupun menteri. Sebab dia mengatakan ini berkaitan dengan tugas penyelenggara negara yang menyangkut tugas, pokok, fungsi dan kewenangan masing-masing.

"Soal SDM, kan perlu diatur. Tenaga pendidik, misal ada sertifikasinya. Misalnya seperti ini," ujar dia.

Meski begitu, Ali menjelaskan, UU Pesantren bersifat lex specialis dan mengandung sejumlah hal spesifik. Misalnya soal pendirian pesantren, pengelolaan pesantren, penyelenggaraan pesantren, dan dewan masyayikh.

"Kriteria pesantren (contohnya), artinya bahwa pesantren itu punya kriteria pokok, pasal 5 ayat 1, pesantren berbasis kitab kuning, kedua berbasis dirasah islamiyah dengan pola muallimin, dan ketiga berbasis integrasi dengan pendidikan umum.

Soal pendanaan pemerintah, Ali menuturkan pemerintah pusat maupun daerah hanya mengucurkan bantuan anggaran kepada pesantren yang telah berbadan hukum. Ada beberapa jenis badan hukum. Salah satunya yayasan yang diakui selama ini banyak menaungi pondok pesantren.

"Tentu saja yang memiliki badan hukum. Ada badan hukum yang perorangan, ada badan hukum yang bentuknya yayasan, PT, CV, macam-macam. Nah ini kebetulan penyelenggara pesantren hampir semuanya adalah yayasan," kata dia.

Ali melanjutkan, aturan soal kriteria pesantren yang dapat menerima anggaran pemerintah akan dirinci dalam peraturan turunannya, yaitu peraturan pemerintah atau peraturan menteri agama. "Nanti diatur kriteria pesantren yang dibantu (diberi anggaran) itu seperti apa," tuturnya.

Badan hukum yang memayungi pesantren, papar Ali, bertanggungjawab terhadap pengelolaan pesantren yang menggunakan anggaran negara, baik itu anggaran pemerintah pusat atau daerah. "Nah inilah yang dipertanggungjawabkan penggunaannya secara administratif," ungkap dia.

Ali juga mengingatkan, UU Pesantren yang baru saja disahkan pada Selasa (24/9) kemarin, mengamanatkan kepada pemerintah pusat dan daerah, untuk turut memerhatikan pesantren dan memberinya bantuan pendanaan. Hal ini sebagaimana tercantum pada pasal 48 ayat (2) dan (3) UU Pesantren.

Dana pesantren bersumber tidak hanya dari anggaran pemerintah, APBN maupun APBD, tapi juga berasal masyarakat. "Ada beberapa sumber dana untuk pesantren. Ada sumber dana mandiri yang dari masyarakat yang dikelola oleh yayasan. Dan ada juga yang bersumber dari APBN atau APBD," tutur dia.

RUU Pesantren resmi disahkan menjadi undang-undang dalam rapat paripurna DPR, di ruang rapat paripurna DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (24/9). Fahri Hamzah selaku pimpinan rapat tersebut mengetok palu seusai menanyakan persetujuan anggota DPR yang hadir. Kemudian dijawab setuju oleh seluruh fraksi anggota DPR.

Sebelum palu diketok, Fraksi PPP memberi catatan terkait UU Pesantren. Menurut Anggota DPR Fraksi PPP Arsul Sani, ada banyak peraturan yang perlu diperhatikan oleh jajaran pemerintahan setelah pengesahan UU tersebut.

"Anggota DPR berikutnya agar tidak hanya berhenti pada mengesahkan dan menyetujui saja, banyak peraturan yang saya kira nanti harus kita ingatkan kepada jajaran pemerintahan untuk bisa disesuaikan dengan semangat dari UU ini," kata dia.

Misalnya, lanjut Arsul, soal status badan hukum lembaga pesantren sebagai persyaratan mendapat kucuran anggaran dari pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota.

"Satu contoh saja yang ingin saya sampaikan dan ini sering menjadi keluhan dari kalangan pondok pesantren, yaitu keharusan bahwa lembaga pesantren harus berbentuk badan hukum, setelah itu baru bisa mendapatkan anggran APBD baik itu tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota setelah tiga tahun," tambahnya.

Karena itu, Arsul menuturkan, ini harus dikoreksi ke depannya. "Agar siapapun yang telah memenuhi aturan pelaksanaan administrasi negara, maka begitu status yang telah terpenuhi itu dicapai, maka hak-nya sama untuk mendapatkan anggaran dari negara ataupun untuk mendapatkan perhatian yang sepenuhnya dari pemerintah," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement