Sabtu 07 Sep 2019 07:33 WIB

Layakkah Metode Hermeneutika Gantikan Tafsir Alquran?

Ada otoritas keilmuan yang diperlukan dalam penafsiran al-Quran.

Petugas memperlihatkan Alquran dari DKI Jakarta di Perpustakaan Jakarta Islamic Center, Jakarta, Kamis (15/11). Perpustakaan Jakarta Islamic Center memiliki beragam koleksi Alquran dan tafsirnya yang berasal dari beberapa negara islam hingga dalam negeri untuk mencari referensi keilmuan peradaban Islam.
Foto:
Petugas memperlihatkan Alquran dari DKI Jakarta di Perpustakaan Jakarta Islamic Center, Jakarta, Kamis (15/11). Perpustakaan Jakarta Islamic Center memiliki beragam koleksi Alquran dan tafsirnya yang berasal dari beberapa negara islam hingga dalam negeri untuk mencari referensi keilmuan peradaban Islam.


Pada 3 September 2019, saat berkunjung ke Kota Surakarta, saya mendapatkan disertasi Dr. Abdul Azis yang menghebohkan. Membaca disertasi itu, mulai judul, pembahasan, kesimpulan, sampai saran-saran, tergambar dengan sangat jelas pola pikir penulisnya. Bahwa, hubungan seks di luar pernikahan adalah dibolehkan dengan syarat-syarat tertentu. Itu pula yang disampaikan penulisnya dalam wawancara di berbagai media. 


Maka, hebohlah masyarakat muslim Indonesia. Ada yang mengekspresikan kegalauannya dengan menulis aneka kritik di media sosial. Mereka heran, bagaimana mungkin ada seorang dosen syariah yang menghalalkan hubungan seksual tanpa nikah, asalkan saling rela, tidak di tempat terbuka, bukan dengan istri orang, dan sebagainya.

Bagaimana jika pemikiran sang dosen itu dipraktikkan langsung dengan para mahasiswinya? 
Begitulah, banyak orang terheran-heran. Tapi, mungkin, penulisnya juga heran, mengapa banyak orang heran? Sebab, disertasi itu sudah melalui proses panjang. Membaca judulnya saja sudah dipahami kemana arah pemikiran sang penulis.

Inilah salah satu dampak penggunaan metode yang salah dalam penafsiran al-Quran. 
Umat Islam memiliki kitab suci yang terjaga keotentikannya; yang dihafal dan ditulis sejak awal. Al-Quran bukan teks budaya atau teks karya manusia. Al-Quran adalah Tanzil. Kata-kata dalam al-Quran memiliki kepastian makna; bukan spekulatif. Karena itu, metode hermeneutika tidak bisa diterapkan untuk al-Quran. Al-Quran dijaga oleh Allah SWT. Bukan hanya lafaznya, tapi juga cara baca, makna, dan metode penafsirannya.

Ilmu Tafsir telah diterima secara Ijma’ oleh para ilmuwan muslim sebagai metode yang otoritatif dalam menafsirkan al-Quran. 
Kasus disertasi Abdul Azis membuka mata banyak orang tentang problem penggunaan hermeneutika dalam penafsiran al-Quran. Sebab, metode ini menimbulkan ketidakpastian atau relativisme nilai dan kebenaran.

Ujungnya, kata Prof. Wan Mohd Nor: “Keadaan ini dapat menimbulkan kekacauan nilai, akhlak dan ilmu pengetahuan.” 
Tapi, ini satu pilihan. Pilih Tafsir atau hermeneutika untuk menafsirkan al-Quran. Atau, pakai metode sendiri. Maunya, yang penting asal beda! Katanya, bukan tafsir “Jalalain” tapi tafsir “Jalan lain”. 
Apa pun pilihan kita, yang jelas, kita semua akan menghadap Allah SWT dan akan bertanggung jawab atas ilmu dan amal kita. Sebab, al-Quran itu kalam Allah, bukan kata-kata manusia.

Sepatutnyalah kita sangat berhati-hati dalam menafsirkannya. Ada otoritas keilmuan yang diperlukan dalam penafsiran al-Quran. 
Rasulullah saw diutus untuk menyempurnakan akhlak; bukan untuk mengacaukan akhlak, dengan mengabsahkan perbuatan zina! Wallahu A’lam bish-shawab. (Riau, 6 September 2019).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement