REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kualitas pribadi seseorang ditentukan oleh kualitas hatinya. Imam Al-Ghazali mengibaratkan hati bagaikan raja yang ditaati atau penguasa yang diikuti. Sedangkan seluruh anggota tubuh yang lain adalah para bawahan dan prajurit yang harus tunduk dan patuh atas segala perintahnya.
Apabila sang raja atau penguasa baik, maka akan baik pula semua pengikutnya. Demikian pula sebaliknya, apabila sang raja lalim, maka rakyatnya pun akan punya perilaku yang tidak jauh berbeda. Pernyataan Al-Ghazali tersebut terinspirasi oleh hadis Nabi SAW, ''Sesungguhnya di dalam jasad terdapat segumpal daging yang apabila baik, maka baiklah seluruh jasad itu. Dan apabila rusak, maka rusaklah seluruh jasad itu. Ketahuilah, ia adalah hati.''
Oleh karena besarnya pengaruh hati pada kualitas seluruh jasad, berkali-kali Allah mengingatkan kepada manusia bahwa Dia mengawasi apa yang tersimpan di dalam hati. Mari kita simak peringatan Allah di bawah ini, ''Dan Allah mengetahui apa yang (tersimpan) dalam hatimu.'' (QS al-Ahzab [33] : 51). ''Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi hati.'' (QS Al-Anfal [8] : 43).
Peringatan Allah dan Rasul-Nya tersebut jelas sekali menegaskan bahwa hati merupakan bagian tubuh terpenting untuk senantiasa dikontrol dan dibenahi. Karena, menurut Al-Ghazali, hati menjadi ajang pertempuran antara dua kekuatan, baik dan buruk, yang bersumber dari akal dan hawa nafsu.
Kedudukannya laksana penguasa yang menerima dan memfilter bisikan dari berbagai pihak, seperti para menteri, para penasihat presiden, dan lain sebagainya. Bisikan-bisikan itu datang siling berganti. Tergantung kebijakan sang penguasa, apakah ia berpihak kepada pembisik yang baik atau yang buruk.
Untuk melihat lebih jauh keberhasilan hati dalam pertempuran tersebut, Allah SWT memberikan ilustrasi yang sangat menarik, ''Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.'' (QS Al-A'raf [7] : 58).
Hati yang baik digambarkan oleh ayat tersebut seperti tanah atau negeri yang subur. Di dalamnya tumbuh tanaman dan buah-buahan yang segar dan bermanfaat bagi penduduknya. Sedangkan hati yang buruk ibarat tanah tandus dan negeri yang tidak sejahtera.
Pengibaratan tersebut patut kita renungkan lebih dalam. Sudahkah hati kita memberikan kebaikan bagi diri sendiri dan orang lain? Dalam konteks yang lebih luas, sudahkah hati pemimpin kita melahirkan kebijakan yang memakmurkan rakyatnya? Pertanyaan pertama hanya bisa dijawab oleh masing-masing orang. Sedangkan yang kedua sudah jelas di depan mata. n