Rabu 04 Sep 2019 09:49 WIB

Membedah Kitab Al-Ahkaam Al-Shultania Karya Al-Mawardi

Kitab yang monumental itu merupakan adikarya al-Mawardi

Ilmuwan Muslim (ilustrasi).
Foto: blogspot.com
Ilmuwan Muslim (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kitab al-Ahkaam al-Shultaniah (Hukum-hukum Kekuasaan) begitu fenomenal. Buah pikir al-Mawardi tentang ilmu politik itu telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Kitab yang monumental itu merupakan adikarya sang pakar politik.

Dalam kitab itulah, pemikiran dan gagasan al-Mawardi tentang politik tercurah dengan begitu jelas. Tak hanya berlaku pada masanya, prinsipprinsip politik kontemporer dan kekuasaan yang dicetuskannya hingga kini masih tetap menjadi wacana yang menarik diperbincangkan bahkan diperdebatkan.

Baca Juga

Buku dasardasar ilmu politik itu mencakup berbagai hal, seperti pengangkatan imamah (kepala negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima perang, jihad bagi kemas lahatan umum, jabatan hakim, hingga jabatan wali pidana. Kitab Al-Ahkam Al-Shultaniahjuga mengkaji masalah imam shalat, zakat, fa’i, ghanimah( rampasan perang), ketentuan pemberian tanah, ketentuan daerah-daerah yang berbeda status, hukum seputar tindak kriminal, fasilitas umum, penentuan pajak dan jizyah, masalah protektorat, dan masalah dokumen negara dengan begitu lengkap dan detail.

Imam baik itu raja, presiden, sultan menurut al-Mawardi, adalah sebuah keniscayaan. keberadaannya sangat penting dalam suatu masyarakat atau negara. Tanpa kehadiran seorang imam, ungkap dia, sebuah masyarakat atau negara akan kacau. Tanpa kehadiran pemimpin, manusia men jadi tidak bermartabat.

Sebuah bangsa pun menjadi tak lagi berharga. Inilah ketentuan seorang imamah yang legal dalam pandangan al-Mawardi. Menurutnya, jabatan imamah menjadi sah apabila memenuhi dua metodologi. Pertama, dia dipilih oleh parlemen (ahlul halli wal aqdi). Mereka inilah yang memiliki wewenang untuk mengikat dan mengurai atau juga disebut model al-Ikhtiar.

Kedua, ditunjuk oleh imam sebelumnya. Model pertama selaras dengan demokrasi dalam konteks modern. Sementara, tipe kedua, al-Mawardi merujuk pada eksperimen sejarah, yakni pengangkatan Khalifah Umar bin Khattab oleh khalifah sebelumnya, Abu Bakar ash-Shiddiq.

Seorang khalifah, kata dia, bisa dilengserkan dan harus mundur bila mengalami dua cacat. Pertama, cacat dalam keadilannya (bisa disebabkan syahwat, atau akibat syubhat). Kedua, cacat tubuh. Dalam kaitan ini adalah cacat pancaindra (termasuk cacat yang menghalangi seseorang untuk diangkat sebagai seorang imam, seperti hilang ingatan secara permanen, hilang penglihatan).

Selain itu, juga cacat organ tubuh dan cacat tindakan. Sedangkan, cacat yang tidak menghalangi untuk diangkat sebagai imam, seperti cacat hidung yang menyebabkan tidak mampu mencium bau sesuatu, cacat alat perasa, seperti membedakan rasa makanan.

Lalu, bagaimana konsep jihad menurut al-Mawardi? Selain terdapat perintah jihad kepada orang kafir, masih ada tiga jenis jihad lainnya, yakni jihad untuk memerangi orang murtad, jihad melawan para pemberontak (bughat), dan jihad melawan para pengacau keamanan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement