REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Puncak kejayaan kota Tunis berlangsung di era kekuasaan Dinasti Hafsiah. Pada masa itu, di Tunis berdiri sebuah perguruan tinggi
pertama di Afrika Utara. Tunis pun menjadi kota yang berpengaruh. Kota itu berkembang menjadi kota perdagangan dan ilmu pengetahuan. Para pedagang dari Venesia dan berbagai belahan dunia lainnya datang ke Tunis untuk berniaga.
Kemakmuran yang dicapai kota Tunis masih dapat disaksikan pada abad akhir awal abad ke-16 M. Seorang pelaut dari Turki, Pipi Reis, dalam catatan perjalanannya melukiskan kemegahan dan keindahan kota itu.
Menurut Reis, di kota itu berdiri sekitar 5.000 rumah yang gaya arsitekturnya meniru istana kerajaan. Sepanjang kota itu dihiasi dengan kebun dan taman nan indah.
Setiap taman terdapat vila, kios, kolam, dan air mancur. Aroma melati yang harum mewarnai segarnya udara di kota Tunis. Buah- buahan begitu melimpah.
Tak heran, bila ketika itu, Tunis menjadi pusat perhatian. Mungkin saja, kemegahan dan kekayaan yang dimiliki kota Tunis itulah yang mendorong bangsa Prancis untuk menguasai dan menjajah wilayah itu pada abad ke-19 M hingga 20 M.
Hingga kini, Islam masih menjadi agama resmi di Tunisia dengan jumlah pemeluk agama Islam mencapai 95 persen. Wajah Islam modern dan moderat menjadi identitas umat Islam Tunisia.
Prinsip toleransi beragama dan kebebasan menjalankan ibadah di antara umat beragama sangat dijunjung tinggi. Gerakan tarekat sufi yang dulu sempat subur di Tunisia, kini tersisih karena imbas modernisasi ini.