REPUBLIKA.CO.ID, oleh Agung Sasongko*
Satu kisah, Ali bin Abi Thalib berada dalam sebuah peperangan. Saat menghadapi lawannya, Ali bin Abi Thalib dalam posisi unggul. Ketika hendak menebas musuhnya, sang lawan meludahi wajah sepupu Rasulullah SAW ini.
Seketika Ali menahan diri. Ia terdiam. Sang musuh heran. "Wahai Ali, kenapa engkau tidak jadi melawanku?".
Setelah itu, Ali pun menjawab, "Ketika aku menjatuhkanmu, aku ingin membunuhmu karena Allah. Akan tetapi ketika engkau meludahiku, maka niatku membunuhmu karena marahku kepadamu," kata Ali.
Sikap ini teladan dari seorang sahabat Rasulullah SAW. Ia tahu, menjadi marah akan menghilangkan akal dan pikiran. Satu hal yang tak kehendaki ketika seseorang ingin memperoleh kemuliaan dari Sang Pencipta. Bisa saja Ali meenebas lawannya. Namun, Ali RA memilih menahan amarahnya.
Sebagaimana diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, seorang sahabat pernah meminta nasihat kepada Rasulullah SAW. “Berilah saya nasihat wahai Rasulullah,” ujarnya. “La taghdab (jangan engkau marah),” jawab Rasulullah singkat. Lelaki itu kembali mengulang pertanyaannya, tapi jawaban Rasulullah tetap saja sama baginya. (HR Bukhari).
Imam Nawawi mengatakan, makna dari jangan marah ini dalam hadis Rasulullah SAW tersebut adalah jangan sampai seseorang menumpahkan kemarahan, sehingga membutakan hatinya. Ketika seorang ingin marah, ketika itulah ia harus bisa menguasai dirinya. Sehingga, rasa marah tidak memengaruhinya untuk bisa berpikir, berucap, dan mengambil keputusan dengan baik dan hati yang jernih.
Karenanya, dianjurkan kepada seseorang yang diselimuti rasa marah hendaklah menenangkan dirinya terlebih dahulu sebelum bertindak atau berucap. Dalam hadis riwayat Ahmad, Rasulullah SAW bersabda, “Apabila salah seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri maka hendaknya dia duduk. Kalau marahnya belum juga hilang maka hendaknya dia berbaring."
Sebagaimana hadis dari Sulaiman bin Surd yang menceritakan, "Suatu hari saya duduk bersama Nabi SAW. Ketika itu, ada dua orang yang saling memaki. Salah satunya, wajahnya telah merah karena diliputi marah. Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh saya mengetahui ada satu kalimat, jika dibaca oleh orang ini maka marahnya akan hilang. Jika dia membaca ta’awuz a’udzu billahi minas syaithanir rajiim. marahnya akan hilang." (HR Bukhari dan Muslim).
Di kehidupan yang serbamodern ini, masyarakat begitu banyak menghadapi dorongan untuk marah. Dari update status di sosial media misalnya, sangat berpotensi memicu kemarahan. Atau mungkin ketika berkendara, ada pengendara lain yang seenaknya sendiri dalam berkendara sangat mungkin memicu amarah orang lain.
Menjadi marah sangatlah mudah, meredamnya itu yang sulit. Namun, ketika kita sudah tahu apa dampak dari marah itu, semisal terputusnya hubungan tali silaturahim atau yang lebih fatal lagi berurusan dengan hukum. Contoh lain, bagaimana dengan dampak kesehatan, sejumlah peneliti mengaitkan marah dan risiko penyakit. Jadi patut kita renungkan betapa pentingnya menahan marah.
Dalam Alquran, dikatakan orang yang mampu menahan amarah termasuk golongan orang bertakwa yang berhak atas surga. (QS Ali Imran [3] ayat 133-134). Nabi pun berpesan, "Orang yang kuat bukanlah orang yang tangkas dalam bertarung, melainkan orang yang bisa menyapih diri ketika marah." (HR Malik).
Allah SWT memberikan sifat kemanusiaan kita berupa emosi atau rasa marah untuk menjadi ujian. Ketika kita mampu mengatasi ujian tersebut tentu akan lahir seorang pribadi yang sabar dan bersyukur. Wallahu a'lam bisshawab.
*) Penulis adalah redaktur republika.co.id