Rabu 21 Aug 2019 02:15 WIB

Belajar Ikhlas

Orang yang mukhlis karena Allah tidak pernah merasa dirinya lemah dan hina

Berbuat ikhlas (ilustrasi)
Foto: www.moslemsubang.wordpress.com
Berbuat ikhlas (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab     

Pada abad ke-5 Hijriah, Universitas Naishabur di Bagdad menjadi pilihan dan dambaan pelajar masa itu. Rektor dan guru besarnya adalah Imam Al-Haramain, ahli fikih terkenal ketika itu. Di antara pemuda yang dengan giat menghadiri kuliah-kuliahnya tercatat nama Al-Ghazali. Karena sangat menonjol kepandaiannya, dia menjadi bintang dan buah hati seluruh civitas academica Universitas Naishabur.

Baca Juga

Ketika Imam Al-Haramain wafat pada 478 H, kursi rektor yang kosong menunggu kehadiran seorang guru yang layak. Tak ayal lagi, Al-Ghazali, tunas muda dari Khurasan ini, adalah orang yang paling layak untuk jabatan itu. Pada 484 H, dengan penuh keagungan dan sambutan hangat, Al-Ghazali memasuki Kota Baghdad untuk menjabat rektor di universitas tersebut.

Ini berarti, Al-Ghazali memegang suatu jabatan akademis dan rohani  paling tinggi yang sangat didambakan waktu itu. Dia dianggap orang paling alim dan kompeten dalam menangani urusan agama. Dia juga menangani urusan politik, apalagi Khalifah Al-Mustadhir Billah sangat menghormatinya.

Tapi, dalam posisinya yang tinggi itu, Imam Ghazali merasakan bahwa popularitas dan kebesaran yang diraihnya tidak menjadikannya mencapai keyakinan dan thuma'ninah an-nafa (ketenangan jiwa). Imam Ghazali merasakan bahwa dalam dirinya kadang-kadang masih terselip keinginan suka dipuji, yang dapat menjadikannya riya', suatu sifat yang sangat dia takuti dan ingin dijauhinya.

Ghazali berpendapat untuk menyucikan diri dari sifat-sifat tercela itu, manusia dalam segala amal dan tindakannya haruslah suci dan ikhlas semata-mata karena Allah. Imam Ghazali pun mendapat ketenangan, ketika segalanya didasarkan pada ikhlas, setelah terlebih dulu dia tenggelam dalam tafakur dan khalwat, ibadah kepada Allah.

Ikhlas memang diperlukan untuk menata kehidupan di dunia ini. Karena, ia menyampaikan manusia ke puncak keluhuran dan ketinggian, dan menempatkannya pada kedudukan orang-orang yang banyak berbuat kebaikan. Di dalam kehidupan di dunia ini kita menyaksikan bagaimana keikhlasan dicampakkan dan orang hanya memburu kepentingan dirinya sendiri tanpa peduli terhadap kesulitan dan penderitaan orang lain, karena matanya sudah tertutup oleh dunia dan nafsunya.

Orang yang mukhlis karena Allah tidak pernah merasa dirinya lemah karena ancaman, tidak menjadi hina karena kerakusan, dan tidak bisa dicegah karena rasa takut. Contohnya adalah Nabi SAW, yang pernah ditawari kekuasaan, kedudukan terhormat, harta, dan wanita. Semestinya, kita berusaha menjadi seorang yang ikhlas (mukhlis), sesuai tuntunan junjungan kita, Rasulullah SAW.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement