Kamis 15 Aug 2019 17:19 WIB

Menjauhi Riya

Riya atau pamer dapat membuat suatu amalan bernilai sia-sia dalam penilaian Allah

Beribadah (ilustrasi)
Foto: Antara
Beribadah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Masri Elmahsyar Bidin

Setiap amal dan perbuatan manusia, yang berakal sehat, tidak mungkin dilakukan tanpa motif dan tujuan. Motif bisa saja berupa keinginan hati untuk selamat di akhirat nanti atau memeroleh ridha Allah SWT.

Baca Juga

Namun, hal ini hanya bisa tercapai dengan satu syarat, yaitu ikhlas murni. Tanpa motif ikhlas yang murni, perbuatan saleh dan kebajikan dapat menjadi sia-sia. Tidak bernilai ibadah.

Bahkan, amal kebaikan dapat dianggap batal oleh agama bila ada faktor yang merusaknya. Salah satu penyebab rusaknya amal adalah pamer alias riya.

 

Memang seseorang tidak mungkin selalu mengerjakan kebaikan secara sembunyi-sembunyi. Suatu ketika, manusia perlu mengerjakan amal kebaikan secara terbuka dan di depan orang lain atau masyarakat, lalu dia dipuji dan disanjung.

Lalu tanpa terasa, pujian, sanjungan, dan apresiasi itu dianggap sebagai imbalan bagi perbuatan baiknya. Anggapan inilah yang pada gilirannya membuatnya selalu menuntut pujian dan apresiasi dari orang lain bagi setiap kebaikan yang dilakukannya. Inilah yang disebut dengan riya yang dapat membatalkan amal kebaikan seseorang.

Riya seperti inilah yang dikhawatirkan Rasulullah SAW. Riya membuat beliau risau dan bersedih.

Menurut riwayat, Syadad bin Aus pernah melihat Rasulullah SAW bersedih dan meneteskan air mata.

Syadad lalu bertanya, ''Apa yang membuat Anda bersedih ya Rasulullah SAW?''

Beliau bersabda, ''Ada hal yang sangat saya khawatirkan terhadap umatku, yaitu syirik. Memang mereka tidak sampai menyembah berhala, matahari, dan bulan serta tidak pula batu dan roh, tetapi bersikap riya dalam amal dan perbuatan baik. Inilah yang paling aku khawatirkan terhadap mereka, yaitu riya.''

 

Dua Bentuk Riya

Setidaknya terdapat dua bentuk riya. Pertama, riya yang bermotif memperoleh pujian, sanjungan, dan apresiasi dari manusia semata. Ini adalah riya yang paling rusak dan tercela. Kedua, riya yang selain bermotif untuk mendapat ridha Allah SAW juga berharap pujian manusia. Ini lebih ringan dari riya bentuk pertama. Namun, keduanya adalah bentuk riya yang dilarang Islam.

''Siapa yang menginginkan kehidupan duniawi dan keindahannya, maka kami akan memberikan kepadanya sepenuhnya sebagai imbalan amalnya, tanpa sedikit pun dikurangi. Mereka ini di akhirat nanti hanya mendapatkan api neraka dan amal mereka tidak bermanfaat di sana dan apa yang telah mereka lakukan menjadi batal.'' (QS Hud: 15-16).

Rasulullah SAW juga pernah ditanya tentang orang yang tidak selamat di akhirat nanti. Beliau menjawab, ''Seseorang yang berbuat baik bukan karena taat kepada Allah SWT, tapi ingin memperoleh pujian manusia.'' (Al Hadits).

Banyak faktor yang mendorong orang berbuat riya dan tiga di antaranya, menurut Harits Asad Al Muhasiby, terkait dengan mental pribadi.

Pertama, senang dipuji. Kedua, takut dianggap rendah di dunia.

Ketiga, rakus dengan kepunyaan orang lain. Riya membuat orang menjadi buta dan dikuasai hawa nafsu, sehingga tidak melihat akibat fatalnya riya yang dapat membatalkan amal kebaikan.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement