Selasa 13 Aug 2019 13:37 WIB

Catatan Muhammadiyah Soal Kabar Cina Larang Identitas Islam

Muhammadiyah menilai jika kabar benar tentu sangat disayangkan.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Nashih Nashrullah
Masjid Agung Guangzhou, juga dikenal sebagai Masjid Huaisheng, masjid tertua di Cina. Dibangun pada masa kekaisaran Dinasti Tang pada tahun 635 M (islaminchina.info)
Foto: .
Masjid Agung Guangzhou, juga dikenal sebagai Masjid Huaisheng, masjid tertua di Cina. Dibangun pada masa kekaisaran Dinasti Tang pada tahun 635 M (islaminchina.info)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Informasi tentang rencana Pemerintah Cina melarang identitas Islam mendapat sorotan, termasuk oleh pimpinan Muhammadiyah. 

Jika informasi tersebut benar adanya, Muhammadiyah sangat menyayangkan apalagi Islam adalah agama yang dipraktikkan sebagian masyarakat di Cina.   

Baca Juga

“Jika hal ini benar adanya, maka itu merupakan sesuatu yang amat disayangkan. Di mana-mana pemerintah Cina, selalu mengatakan bahwa Islam merupakan agama yang dipraktikkan oleh sebagian masyarakat Cina, dan dilindungi keberadaannya oleh pemerintah,” kata Ketua PP Muhammadiyah bidang Hubungan dan Kerja Sama Luar Negeri Bahtiar Effendy kepada Republika.co.id, belum lama ini.   

Bahkan, dia menyaksikan bahwa masjid-masjid di Cina juga diperbolehkan menyelenggarakan kegiatan ibadah, termasuk shalat Jumat. Dalam kunjungan PP Muhammadiyah beberapa waktu lalu, Bahtiar dipertemukan dengan pejabat yang mengurusi agama Isalam. 

Bahtiar dan rombongan sempat menjalin dialog dengan pemuka agama Islam tersebut. Rombongan juga berkesempatan mencoba restoran yang berhias kaligrafi Allah, Muhammad, dan lain-lain. “Mungkin karena singkatnya kunjungan, tak tampak kesan sentimen anti-budaya Islam dan/atau Arab,” ujar dia.  

Bahtiar mengatakan, salah satu hal yang pasti, yakni Cina bukan negara yang mempraktikkan demokrasi. Pun hak asasi manusia sangat rentan untuk dilanggar di negara itu. 

Dengan demikian, dia tidak menampik tindakan diskriminasi kemungkinan besar terjadi di negara berjuluk ‘Tirai Bambu’ itu. Namun, dia belum memastikan ihwal apakah deskriminasi hanya dikenakan terhadap komunitas Islam.   

“Diskriminasi terhadap Muslim Uighur pasti terjadi, hanya saja masalah Muslim Uighur di kawasan Xinjiang ini berbeda dengan Muslim di Beijing atau di daerah lain,” kata Bahtiar.   

Sebelumnya diberitakan, pemerintahan Cina terus memerintahkan toko untuk menghapus simbol Islam dan Arab sebagai identitas agama. Penghapusan simbol Islam ini dianggap sebagai tanda-tanda penganiayaan terhadap Muslim meningkat.     

"Para pejabat di Beijing telah memerintahkan semua toko untuk menutupi tanda-tanda Arab atau simbol-simbol Islam, dalam fase terakhir dari tindakan keras pemerintah terhadap Muslim," sebut The Independent, Jumat (2/8) waktu setempat. 

Semua identitas Islam di restoran, kafe, dan warung makan yang menyajikan produk halal telah dikunjungi pejabat pemerintah dalam beberapa pekan terakhir. Para pejabat ini menyuruh menghapus tidak hanya kata "halal" dalam bahasa Arab, tetapi juga gambar yang terkait dengan Islam, seperti bulan sabit.   

photo
Pagar penjagaan di kamp penahanan, yang secara resmi disebut pusat pendidikan keterampilan di Xinjiang untuk Muslim Uighur.

Terkait kasus tersebut, Bahtiar mengatakan PP Muhammadiyah telah meminta Lembaga Hubungan dan Kerjasama Internasional (LHKI) PP Muhammadiyah untuk meminta informasi lebih lanjut mengenai hal itu. Kendati demikian, dia mengatakan PP Muhammadiyah belum merencanakan bertemu dengan Dubes Cina untuk Indonesia. Selain itu, dia melanjutkan, PP Muhammadiyah juga belum memberikan masukan apa-apa kepada pemerintah, yakni Kementerian Luar Negeri.  

“Kami percaya pemerintah paham dan mengerti masalahnya. Dan, kalau pemerintah menganggap penting tentang persoalan ini, tentu pemerintah akan mengambil langkah-langkah yang tepat menangani persoalan ini,” ujar Bahtiar.  

Bahtiar beranggapan jika persoalan tersebut benar terjadi, negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dapat bersikap.  Pertama, yakni melakukan klarifikasi terhadap pemerintah Cina mengenai masalah tersebut. Apabila benar ada rencana penghapusan simbol Islam dan Arab, OKI bisa mengambil tindakan persuasif diplomatik agar Cina membatalkan kebijakan tersebut. 

Apabila pemerintah Cina tidak membatalkannya, kata dia, masyarakat Islam bisa mengambil tindakan resiprokal yang sebanding, yakni melarang atau menolak simbol-simbol Cina terpajang di dunia Islam dengan alasan yang sebanding bahwa simbol Cina merupakan budaya luar dan asing.

Lebih dari itu, Bahtiar melanjutkan, dunia Islam juga bisa menolak atau membatasi produk-produk Cina yang membanjiri dunia Islam. Bahkan, di Makkah dan Madinah sudah kebanjiran produk-produk Cina.   

“Ini beberapa langkah yang bisa dilakukan, jika benar adanya masalah itu, dan masyarakat Islam bersedia melakukan tindakan resiprokal atas kebijakan yang diambil pemerintah Cina,” kata Bahtiar. n Umi Nur Fadhilah

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement