REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Thobroni
''Maka, siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan ayat-ayat-Nya?'' (QS Yunus [10]: 17).
Sejarah Islam pernah dibangun dalam tradisi keemasan, saat ilmu pengetahuan berkembang pesat di tengah hiruk pikuk orang memburu kekayaan dan kemegahan dunia. Ketika banyak orang abai terhadap ilmu pengetahuan, terdapat orang-orang yang tak pernah lelah berburu ilmu.
Di antara teladan penting ialah Imam Al-Ghazali. Sosok penting ilmu tasawuf ini membaca, mengajarkan, menulis, dan menyebarkan apa yang direnungkannya tentang kehidupan spiritual dan sosial.
Namun, Al-Ghazali tak menjalaninya dengan mudah. Ia rela belajar kepada siapapun di mana pun.
Pernah dalam kisah kehidupannya. Suatu kali, saat menempuh perjalanan dari sebuah madrasah, Al-Ghazali diadang gerombolan perampok. Seluruh buku dan naskahnya dirampas, termasuk bekalnya.
''Kembalikan buku dan naskah-naskahku,'' seru Al-Ghazali kepada pemimpin perampok.
Mendengar itu, pemimpin perampok pun tertawa terbahak-bahak. Mengapa orang ini hanya meminta buku dan naskah, bukan perbekalan yang lain, uang misalnya?
Bertanyalah si perampok, ''Mengapa engkau menginginkannya? Begitu pentingkah buku dan naskah ini untukmu?''
Al-Ghazali menegaskan, buku dan naskah itu merupakan hasil perburuannya menuntut ilmu pengetahuan. Kian meledaklah tertawa para perampok.
''Aku tidak butuh merampok pengetahuan semacam itu, yang hanya dalam bentuk buku. Jika pengetahuan hanya sebatas buku, apakah engkau layak disebut orang berpengetahuan?'' ejek perampok itu.
Al-Ghazali terhenyak.
Ia merasa ucapan perampok tadi sangat mengena baginya. Ejekan itu dirasakannya seperti hunjaman kata-kata hikmah. Pascaperistiwa itu, ia terus-menerus menempa diri untuk jadi seorang penuntut ilmu yang sejati.
Pelajaran penting dari peristiwa di atas adalah kejujuran. Kejujuran untuk bersedia menimba ilmu dari orang lain, meskipun orang yang hendak mencelakainya.
Kejujuran adalah kunci perkembangan ilmu pengetahuan. Ini bukan sekadar soal perlunya pendidikan pekerti, tapi bagaimana kejujuran menjadi ruh bagi proses pengembangan pendidikan.
Mengapa? Karena kejujuran dapat melahirkan berkah kreativitas.
Sebaliknya, ketidakjujuran menciptakan manusia malas, malas membaca, diskusi, mengkaji, juga menciptakan karya. Ketidakjujuran akan mengungkung perilaku serbainstan, proyek, dan tidak mampu mengembangkan imajinasi kreatif di berbagai bidang.Kejujuran memang mahal harganya. Tapi, inilah kunci menciptakan manusia kreatif dan penuh karya.