Selasa 30 Jul 2019 05:00 WIB

Eyang Hasan Maolani, Guru Tarekat Penyebar Islam di Kuningan

Eyang Hasan Maolani dikenal sebagai ulama kharismatik.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Nashih Nashrullah
Rumah bilik bambu tempat tinggal Eyang Hasan Maolani di kawasan Lengkong, Kuningan.
Foto: Republika/ Andrian Saputra
Rumah bilik bambu tempat tinggal Eyang Hasan Maolani di kawasan Lengkong, Kuningan.

REPUBLIKA.CO.ID, KUNINGAN – Ketokohan Kiai Hasan Maolani atau disebut Eyang Hasan Maolani dikenal luas khususnya di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. 

Dia dikenal sebagai ulama yang wara’ dan menguasai berbagai disiplin ilmu agama. Eyang Hasan Maolani menjadi salah satu ulama yang berhasil mensyiarkan Islam di Kuningan dan sekitarnya pada akhir abad ke-18. 

Baca Juga

Eyang Hasan Maolani lahir di Desa Lengkong, Kecamatan Garawangi Kabupaten Kuningan pada 8 Jumadil Akhir 1196 H atau 21 Mei 1782 M. Dia putra seorang ulama bernama Ki Bagus Luqman yang memiliki garis silsilah hingga raja Pajajaran yakni Prabu Siliwangi. 

Nama Hasan Maolani diberikan oleh Syekh Panembahan Dako yang merupakan ulama besar kala itu. Sebab Syekh Dako mempunyai firasat Hasan Maolani akan menjadi ulama besar yang berperan penting dalam syiar Islam di tanah Sunda.

Hal itu pun terbukti, tanda-tanda Hasan Maolani akan menjadi seorang ulama besar telah terlihat sejak dia menginjak dewasa. Hasan Maolani mempunyai sifat dan kebiasaan yang tak seperti anak pada umumnya. Dia dikenal anak yang lembut, bahkan terhadap hewan sekalipun. Dia kerap menyendiri untuk bertafakur di Goa Bojong Lengkong.  

Eyang Hasan Maulani sempat menimba ilmu di beberapa pesantren seperti Pesantren Pangkalan, Pesantren Kadugede, Pesantren Pasawahan Cirebon, hingga pesantren Rajagaluh. 

Selain banyak menguasai dan hafal berbagai jenis kitab dari ragam disiplin ilmu, Kiai Hasan Maulani dikenal aktif menulis. Di antara manuskrip kitab kuno yang ditulis langsung Kiai Hasan Maulani dapat dilihat di Kantor Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kabupaten Kuningan. 

Eyang Hasan Maolani juga dikenal dengan kedalamannya dalam memahami dan mengamalkan ilmu tasawuf. Dia adalah guru besar Tarekat Syattariyah pada saat itu. Dalam buku Mengenang Sang Kyai Sedjati yang ditulis Abu Abdullah Hadziq disebutkan sanad atau silsilah Tarekat Syattariyah yang digawangi Eyang Hasan Maolani, sebagai berikut: 

“Dalam buku wirid Syathariyah yang ditulis KH Abdul Hamid (Kutaraja) putra KH Moh Idrus, putra Eyang Abshori, putra Eyang Maolani, disebutkan silsilah sanad Tarekat Syattariyah Eyang Maolani mulai dari guru-gurunya hingga kepada Rasulullah SAW.” 

Dakwah Kiai Hasan Maolani dengan tarekatnya yang semakin luas dan diterima masyarakat membuat geram Belanda. Pihak Belanda khawatir hal itu dapat membangkitkan semangat masyarakat untuk memberontak dan melawan Belanda di kemudian hari seperti Perang Diponegoro yang terjadi pada masa itu.  

photo
Sebuah kitab karya Eyang Hasan Maolani yang disimpan di Gedung Arsip dan Perpustakaan Kuningan. Republika/ Andrian Saputra

Pada akhirnya 29 Maret 1842, Hasan Maolani pun di tangkap Belanda dan dibawa ke Cirebon. Setelah sekitar tiga bulan ditahan di Cirebon. Lalu Belanda memindahkan Kiai Hasan Maolani ke Batavia selama sembilan bulan. Pada 13 Maret 1843, Hasan Maolani dibawa Belada ke Ternate, lalu ke Kaima. 

Di Kaima, Hasan Maolani sempat bermukim selama 100 hari sebelum akhirnya dibuang ke kampung Jawa Tondano dan dikumpulkan bersama para tahanan sisa-sisa pasukan Diponegoro. Hasan Molani wafat dalam pengasingannya oleh Belanda. Dia wafat pada 12 Rabiul Awwal 1291 H atau 30 April 1874 M. Hasan Maolani dimakamkan di Gunung Patar Kempal, Kampung Jawa Kecamatan Tondano Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara.  

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement