REPUBLIKA.CO.ID, KUNINGAN – Kepakaran KH Abdul Halim Jagasara, Kuningan, dalam ilmu fikih membuat para ulama se-Kabupaten Kuningan kerap meminta pandangan dan pertimbangannya terkait hukum-hukum Islam.
Dalam setiap permasalahan fikih yang menjadi perdebatan tokoh dan masyarakat kala itu, pandangan-pandangan KH Abdul Halim begitu memberi pencerahan dan melahirkan solusi.
Seperti halnya ketika warga Cidahu Kuningan berbeda pandangan tentang menguburkan jenazah lebih dari satu orang dalam lubang kubur yang sama.
Namun menurut KH Abdul Halim, menguburkan jenazah lebih dari satu orang dalam lubang kubur yang sama dibolehkan dalam fikih Islam. Dengan catatan, jenazah di kubur dalam lubang yang berbeda meski masih dalam satu kuburan.
“Kiai hanya menjawab di muka umum (majelis) apa perbedaannya lubang kacapuri dan lubang landak? Maksudnya bukan berarti jenazah disatukan berendeng, tapi satu jenazah di kubur di lubang kacapuri dan satu lagi di lubang landak. Jadi satu kubur tapi dua lubang yang berbeda dan dipisah. Itu juga yang dilakukan pada makam-makam di Arab Saudi, satu kubur bisa ada beberapa lubang,” kata KH Udi Mashudi cucu dari KH Abdul Halim Jagasara saat berbincang dengan Republika,co.id beberapa waktu lalu.
Selain itu, menurut KH Udi kakeknya sangat lembut dalam berdakwah. Bahkan KH Abdul Halim juga dihormati warga non-Muslim di Kuningan karena perangainya yang santun.
Semasa hidupnya, KH Abdul Halim juga menjadi motor penggerak perjuangan rakyat Kuningan melawan Belanda. Adalah dua putranya yakni KH Ayub dan KH Ujang yang diperintahkan untuk memimpin perlawanan melawan Belanda yang bermarkas di kota Kuningan.
Pesantren Jagasara yang merupakan pesantren terakhir yang didirikan KH Abdul Halim juga menjadi tempat berlindung para ulama dari Cirebon dan Kuningan yang menjadi incaran Belanda. KH Abdul Halim wafat pada 14 Jumadil Awal 1393 H atau pada 15 Juni 1973. Makamnya berada dilingkungan pesantren Jagasara atau di samping mushala pesantren.