REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Azyumardi Azra
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Anas RA disebutkan bahwa telah datang seorang laki-laki kepada Rasulullah SAW. Dia lalu berkata, ''Ya, Rasulullah, sesungguhnya aku telah berbuat dosa.''
Nabi menjawab, ''Mintalah ampun kepada Allah.''
Lelaki itu kembali berkata, ''Aku bertobat, kemudian kembali berbuat dosa."
Nabi bersabda, ''Setiap kali engkau berbuat dosa, maka bertobatlah, hingga setan putus asa.''
Lelaki itu berkata lagi, ''Ya, Nabi Allah, kalau begitu dosa-dosaku menjadi banyak.''
Maka, Nabi bersabda lagi, ''Ampunan Allah SWT lebih banyak daripada dosa-dosamu.''
Hadis Nabi Muhammad SAW ini mengisyaratkan bahwa meminta ampunan kepada Allah SWT selalu berkaitan dengan dosa dan salah. Meminta ampun sering kali dihubungkan dengan bertobat kepada Allah SWT.
Keduanya merupakan aktivitas keagamaan yang harus dilakukan setiap manusia. Sebab, manusia adalah ciptaan Allah SWT yang secara fitrah dibekali dengan sikap salah dan lupa. Permintaan ampun tidak akan menuai hasil bila tidak disertai dengan bertobat kepada-Nya, dan meminta maaf kepada orang yang dizalimi.
Tobat merupakan salah satu maqam di dalam dunia tasawuf. Bagi kalangan sufi, bertobat berarti meninggalkan sesuatu yang tercela dan terlarang yang ditetapkan di dalam ajaran agama (Islam) demi mencapai sesuatu yang terhormat, mulia, dan terpuji di sisi Allah SWT.
Bertobat adalah pengakuan dan penyesalan terhadap perbuatan alpa dan dosa. Ketika ditanya tentang tobat, sufi Sahl Ibn 'Abd Allah dan Al Junaid menjawab, ''Tobat ialah engkau tidak mengingat dosamu.''
Al-Junaid menjelaskan bahwa melupakan dosa berarti tidak lagi mengingat dosa-dosa yang telah diperbuat yang melekat dalam hati.
Ada tiga syarat yang harus dipenuhi seseorang bila tobatnya ingin diterima Allah. Pertama, menyesali diri, karena telah telanjur melakukan maksiat dan melanggar ketentuan-ketentuan agama. Kedua, menjauhkan dan meninggalkan diri dari semua maksiat kapan dan di mana saja berada. Ketiga, berkemauan dan berjanji pada diri sendiri secara sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi kemaksiatan, karena menyadari bahwa perbuatan maksiat menghalangi hubungan dia dengan Tuhannya dan dapat memutus hubungan dengan sesamanya.
Terakhir, orang yang telah berbuat salah dan mau bertobat, harus meminta maaf kepada orang yang dizalimi. Meminta dan memberi maaf merupakan dasar bagi terwujudnya ishlah. Dalam konteks kehidupan sosial-politik masyarakat kita kini, pemaafan masih tetap relevan. Dalam pengertian umum, pemaafan berarti 'mengingat' dan sekaligus memaafkan.
Dalam Islam, proses ini disebut sebagai muhasabah (introspeksi), yakni saling 'menghitung' atau 'menimbang' peristiwa-peristiwa pahit yang telah melukai pihak-pihak tertentu. Melalui muhasabah, berbagai pihak melakukan perhitungan dan sekaligus penilaian moral terhadap kejadian-kejadian yang pernah berlaku yang mungkin merugikan perorangan maupun masyarakat luas. Wallahua'lam.