Kamis 18 Jul 2019 17:47 WIB

Hakikat Tawadhu

esensi tawadhu: menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin memuliakannya.

Takwa (ilustrasi).
Foto: alifmusic.net
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Allah SWT berfirman, "Dan berendah dirilah (tawadhu) kamu terhadap orang-orang yang beriman," (QS 15: 88). Dalam Ihya' Ulumuddin, diriwayatkan bahwa suatu ketika Yunus bin 'Ubaid, Ayyub As-Sakhtiani dan al-Hasan al- Basri mendiskusikan arti tawadhu. Hasan berkata, "Tahukah kamu apa itu tawadhu? Tawadhu ialah saat kamu keluar dari rumah dan menjumpai seorang Muslim lalu kamu melihat bahwa orang tersebut memiliki kelebihan daripada dirimu sendiri."

Hakikat tawadhu ialah merasa hina dengan tetap berpegang teguh pada kebenaran yang merujuk pada Allah SWT. Tawadhu bukanlah rendah diri, melainkan rendah hati. Orang yang tawadhu tidak akan merasa tinggi hati ketika dipuji. Dan sebaliknya, tidak merasa hina ketika dicaci. Rasulullah SAW pun pernah bersabda, "Barang siapa bertawadhu karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya."

Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad dalam Risalatul Mu'awanah wa al-Muwazarah menguraikan indikator orang yang memiliki karakter tawadhu. Di antaranya ialah lebih menyukai tidak dikenal ketimbang terkenal, menerima kebenaran dari siapa pun, mencintai orang-orang fakir dan bersosialisasi dengannya, serta bersifat altruistis.

Adapun lawan dari tawadhu ialah sifat takabur (sombong). Ciri utama takabur ialah menolak kebenaran dari siapa pun (bathar al-haq) dan meremehkan sesama manusia (ghamthu an-nas). Abdullah bin 'Amr pernah bersua dengan Abdullah bin Umar di atas Bukit Shafa, lalu keduanya berhenti sejenak. Kemudian Abdullah bin 'Amr pergi, sementara Abdullah bin Umar masih berdiri di atas bukit dan menangis. Lantas orang-orang bertanya, "Apakah yang menyebabkanmu menangis?" Ia menjawab, "Sebab Abdullah bin 'Amr pernah mendengar sabda Rasulullah SAW bahwa barang siapa dalam hatinya ada sifat takabur seberat biji sawi, niscaya Allah akan membenamkan mukanya dalam api neraka."

Sejarah telah membuktikan, kesombongan akan selalu berakhir pada jurang kebinasaan. Fir'aun, Namrud, dan Qarun adalah contohpar excellence manusia yang hancur karena keangkuhannya. Ingatlah selalu nasihat Lukman al- Hakim pada anaknya yang terekam abadi dalam Alquran, "Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri," (QS 31: 18).

Dalam Ihya' diceritakan bahwa Allah SWT pernah berfirman kepada Nabi Musa, "Sesungguhnya Aku menerima shalat orang yang merendahkan dirinya karena kebesaran-Ku, ia tidak menyombongkan dirinya atas makhluk-Ku, serta hatinya senantiasa takut dan berzikir kepada-Ku, serta ia mengekang nafsunya karena-Ku." Oleh karena itu, janganlah Anda berbangga hati akan keelokan fisik, jabatan, kekayaan, gelar kesarjanaan, serta berbagai atribut keduniaan lainnya. Sadarilah sedini mungkin bahwa semuanya itu ada rentang batasnya.

Jauhkanlah jiwa kita dari haus eksistensi diri dan ketamakan penghargaan dari sesama manusia. Hargailah sesama karena kemanusiaannya sembari menihilkan diri kita sendiri. Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari menegaskan, esensi tawadhu adalah menampakkan diri lebih rendah pada orang yang ingin memuliakannya.

sumber : Hikmah Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement