REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Halal Watch (IHW) menyarankan Badan Penyelenggara Jaminan Prodak Halal (BPJPH) juga berfungsi sebagai pengawas pelaksanaan sistem jaminan halal. Saran itu dianggap sebagai bagi badan tersebut yang hingga kini belum memiliki instrumen lengkap terkait pelaksanaan mandatory sertifikasi halal.
"Karena BPJPH belum siapa dengan berbagai instrument, maka sementara BPJPH dapat diposisikan sebagai lembaga pengawasan pelaksanaan sistem jaminan halal di Indonesia," kata Direktur Eksekutif IHW Ikhsan Abdullah, saat dihubungi, Republika.co.id, Kamis (18/7).
Ikhsan mengatakan, meski waktu mandatory sertifikasi halal tinggal dua bulan lagi (17 Oktober), BPJPH belum memiliki satupun instrumen untuk menjalankan mandatory itu. Di antara instrument yang belum dimiliki BPJPH di antaranya regulasi, kelembagaan, sistem, standar, dan tarif.
"Karena instrumennya belum ada. Maka solusinya sertifikasi halal untuk sementara tetap dilaksanakan oleh LPPOM MUI dengan skema LPPOM MUI tetap menjalankan fungsinya sebagai lembaga sertifikasi halal," katanya.
Dia menjelaskan, nantinya, ketika dokumen hasil pemeriksaan yang selama ini disebut dengan istilah scientific judgement dapat diajukan ke komisi fatwa MUI untuk dimintakan fatwa.
"Setelah fatwa dikeluarkan berserta logonya (seperti logo yang berlaku saat ini), selanjutnya dimintakan registrasi kepada BPJPH untuk diberikan sertifikat halal atas produk," katanya.
Bila solusi dengan skema ini dapat dijalankan, maka dapat diduga kewajiban sertifikasi halal yang akan dimulai pada tanggal 17 Oktober 2019 dapat berjalan dengan baik.
Sebaliknya, LPPOM MUI yang saat ini memliki perwakilan di 34 provinsi dan 1.061 Auditor Halal harus diberikan penguatan kelembagaan dan penambahan auditor halal.
"Karena memasuki mandatory sertifikasi halal diperlukan puluhan ribu Auditor yang harus siap dalam waktu yang cepat," katanya.