Selasa 16 Jul 2019 06:06 WIB

Membaca Kitab Raudatut Thalibin Karya Al-Ghazali

Risalah Imam al-Ghazali ini terdiri atas 43 pembahasan.

Rep: Muhyiddin/ Red: Agung Sasongko
Takwa (ilustrasi).
Foto: alifmusic.net
Takwa (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam menapaki hidup di dunia ini, umat manusia membutuhkan tuntutan untuk mencapai tuhan-Nya. Karena itu, para ulama zaman dulu banyak menulis kitab untuk membantu umat Islam menemukan hakikat kebenaran.

Kitab berjudul asli Raudhatut Thalibin wa Umdatus Salikin karangan Imam Ghazali ini menjadi salah satu karya besar yang memengaruhi ulama sufi setelahnya, seperti Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Ibnu Arabi, Ibnu Atha'illah as-Sakandari, dan lain-lain.

Dalam pengantarnya, Imam Ghazali mengatakan, kitab risalah ditulis utuk dijadikan pegangan bagi para pencari kebenaran, dan membantu umat Islam dalam menempuh suluk atau perjalanan spiritual. Di dalam masterpiece Imam Ghazali ini, terdapat segala hal yang dibutuhkan untuk mengantarkan diri menuju Sang Ilahi.

Dalam menulis sebuah kitab, para ulama terdahulu biasanya tidak asal-asalan. Begitu juga dengan Imam al-Ghazali. Dia menulis Kitab Raudatut Thalibin ini dengan memohon pertolongan terlebih dahulu kepada Allah sehingga terhindar dari kekurangan dan kesalahan.

Risalah Imam Al-Ghazali ini terdiri atas 43 pembahasan. Al-Ghazali memulainya dengan pembahasan tentang beberapa hal yang menjadi pondasi agama. Seperti ulama-ulama klasik pada umumnya, al-Ghazali menjelaskan fondasi agama untuk memperkuat keimanan umat Islam.

Kitab ini banyak diajarkan di pesantren-pesantren Indonesia sehingga menempati ruang tersendiri di hati para santri dan ulama In donesia. Bahkan, KH Mustafa Bisri atau yang lebih akrab dipanggil Gus Mus sampai menamakan pesantrennya seperti judul kitab ini, yaitu Pondok Pesantren Raudhatut Thalibin Rembang, Jawa Timur.

Dengan membaca kitab ini, para pembaca akan banyak menemukan istilah-istilah tasawuf. Imam Ghazali juga menjelaskan tentang dasar-dasar tasawuf, yang di antaranya mengonsumsi makanan halal, mengikuti akhlak, perbuatan, perintah, dan sunah Rasulullah Saw.

Bahkan, istilah tasawuf sendiri dapat dilacak di dalam kitab ini. Menurut Imam Ghazali, tasawuf berarti mencampakkan nafsu dalam ibadah dan menggan tungkan hati dengan hal-hal Ilahiah. Selain itu, menurut dia, ada juga yang me ngatakan, tasawuf adalah menyem bunyikan kemiskinan dan melawan penyakit.

Seorang yang mendalami tasawuf dikenal sebagai seorang yang sufi. Berkaitan dengan hukum seorang sufi, menurut al-Ghazali, su dah selayaknya kefakiran menjadi perhiasannya, sabar menjadi minumannya, ridha menjadi binatang tunggangannya, dan tawakal menjadi tingkah lakunya.

Imam Ghazali mengatakan, seorang sufi juga menggunakan anggota tubuhnya hanya untuk ketaatan. Dia memotong memo tong syahwatnya dan bersikap zuhud terhadap dunia, wara' pada se gala jatah nafsu, dan sama sekali tak memiliki keinginan para dunia.

Imam Ghazali mampu menggambarkan seorang sufi yang sebenarnya dalam kitab ini. Bahkan, menurut al-Ghazali, jika seorang sufi harus mengambil dunia, keinginan tersebut tidak melampui batas kecukupannya. Hati seorang sufi bersih dari noda dan sangat mencintai Tuhannya.

Seorang sufi adalah orang yang hatinya bersih dari nodanoda dan penuh pikiran. Baginya, tak ada bedanya antara emas dan ba tu, kata Imam Ghazali mengutip pendapat Sahl bin Abdullah. Untuk memahami kitab ini secara mendalam, umat Islam tentu harus menguasai bahasa Arab.

Namun, karangan Imam Ghazali ini kini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sehingga bisa masyarakat Indonesia bisa memahinya. Terjemahan itu diterbitkan menjadi buku berjudul Ta man Kebenaran.

Kendati demikian, masih butuh waktu yang cukup untuk mema hami buku ini karena banyak istilah asing yang terungkap di dalamnya. Karena itu, buku Taman Kebenaran ini dilengkapi dengan glosarium, yang berisi daftar istilah-istilah tasawuf.

Pembahasan kitab Rausdatut Thalibin ini sangat cocok bagi para orang tua yang ingin menja lani tela dan bagi anak-anaknya dan seorang guru yang ingin men jadi teladan bagi murid-muridnya. Ka rena, dalam kitab ini Imam Gha zali menjelaskan tentang adab-adab yang dilakukan Ra sulullah.

Imam Ghazali menjelaskan, adab adalah pendidikan lahir dan batin. Jika seorang hamba telah ber sih secara lahir dan batin, ia akan menjadi seorang sufi yang beradab. Barang siapa yang mem biasakan diri mengikuti adab-adab sunah maka Allah akan me nerangi hatinya dengan cahaya makrifat, kata Imam Ghazali.

Menurut dia, tidak ada kedudukan yang mulia selain mengikuti Rasulullah dalam menjalan perintah Allah, mengikuti perbuatannya, dan meneladani akhlak nya, serta berperilaku sebagaimana adab Rassulullah, baik dari segi ucapan, tekad, maupun niat.

Imam Ghazali menjelaskan, orang yang mengikuti adab para nabi maka layak memperoleh ham paran kasih sayang dan kemudahan dari Allah. Sebaliknya, orang yang terhalang dari adab, berarti ia telah terbentengi dari segala kebaikan.

Barang siapa yang tidak terdidik dengan perintah dan didikan para guru, maka ia tidak beradab dengan kitab dan sunnah, jelas Imam Ghazali. Bahaya lidah dan menjaga perut

Kitab Raudatut Thalib sangat berguna untuk umat Islam karena kitab ini membahas secara perinci tentang kepribadian manusia, cara bersikap, beribadah, dan beraqidah. Kitab ini cocok bagi gene rasi muda Muslim yang ingin mencari jati diri agar tidak tersesat dalam menjalani kehidupan.

Untuk menjaga sikap, misalnya, Imam Ghazali mengupas tentang bahaya lidah. Pembahasan ini sangat penting di zaman yang penuh olok-olok sekarang ini. Setidaknya ada 20 bahaya lidah yang diungkap Imam Ghazali, yang di antaranya berbicara tentang sesuatu yang tidak bermanfaat, berlebihan dalam berkata-kata, berbicara tentang hal-hal batil, mengundang permusuhan, berbicara terus-menerus, berbicara kotor, dan mengumpat.

Imam Ghazali menjelaskan, bahaya lidah tersebut secara perinci dalam kitab ini. Menurut Al- Ghazali, ketika seseorang membatasi pembicaraan yang tidak bermanfaat, tidak berdosa dan tidak mendapatkan bahaya di dunia maupun akhirat. Sedangkan, berbi cara berlebihan merupakan pem bicaraan yang melampui batas ke butuhan.

Al-Ghazali juga menjelaskan ten tang lidah yang kerap mengundang permusuhan (khusumah). Menurut dia, khusumah berarti ke gaduhan dalam berbicara dengan mempertontonkan permusuh an, atau bertujuan menyakiti dan mengejek lawan dengan kataka ta menyakitkan yang tidak ia bu tuhkan guna mendukung argumentasinya.

Untuk menuntun umat Islam menuju kebenaran, Imam Ghazali juga menjelaskan agar seseorang selalu menjaga perutnya. Menurut Imam Ghazali, perut adalah tambang. Dari perutlah, kebaikan atau keburukan bergerak ke seluruh anggota tubuh.

Karena itu, jika engkau berniat untuk beribadah kepada Allah, engkau harus menjaga perut dari makanan haram, subhat, atau sikap berlebihan, kata Imam Ghazali

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement