REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jika mengunjungi beberapa pasar swalayan di Ibu Kota, publik mungkin akan mendapati pemilahan antara bahan makanan yang halal dan non-halal. Misalnya, adanya penanda gambar hewan babi pada kemasan.
Akan tetapi, muncul pertanyaan, apakah perlu label tidak halal disematkan pada semua produk yang mengandung bahan haram? Untuk beberapa wilayah di perkotaan, misalnya, di mana banyak warga negara asing (WNA) yang tinggal. Bagi mereka, adanya makanan tak halal menjadi suatu kebutuhan bagi mereka, sehingga wajar pasar-pasar swalayan setempat menjualnya.
Menurut Direktur Indonesia Halal Watch (IHW), Ikhsan Abdullah, label tidak halal ini memang perlu dibuat ke depannya.
“Untuk label tidak halal itu juga harus dipikirkan mau seperti apa labelnya. Jadi masyarakat tahu seperti apa label halal dan yang tidak halal. Harus dilogoin misalnya babi berkepala merah,” kata Ikhsan saat dihubungi, Rabu (3/7).
Ini perlu dilakukan, mengingat sekarang beberapa produk maupun barang yang tidak berlabel halal statusnya masih rancu alias tidak jelas. Misalnya untuk kosmetik seperti Wardah yang sudah berlabel halal, itu jelas, bagaimana yang lainnya yang tidak berlabel halal? Padahal si penjual mengatakan produknya halal.
“Jadi ke depannya, yang halal dilabelin seperti logo yang sekarang nih, yang tidak halal juga dilabelin agar masyarakat tahu. Jadi masyarakat tidak sembarangan mau ambil makanan, karena kalau yang berlabel halal sudah dipastikan baik untuk muslim ataupun non muslim,” papar Ikhsan.
Sertifikasi halal nantinya tetap dilakukan oleh satu lembaga yang sesuai Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) yakni BPJPH, tapi BPJPH hanya sebagai lembaga sertifikasi saja. Pelaksanaannya tetap di Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena MUI yang memberikan fatwa halal.
“Lalu kapan mulainya saja belum tahu, sampai sekarang saja nih BPJPH belum punya LPH, sedangkan pemeriksa harus dilakukan LPH, lalu harus ada auditor halal, masih banyak sekali yang harus dibenahi BPJPH,” tutup Ikhsan.
Untuk diketahui, Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi BPJPH, Mastuki, membenarkan adanya persiapan jelang diberlakukannya jaminan produk halal oleh BPJPH per 17 Oktober 2019. Selain membahas tarif layanan, BPJPH sedang mempersiapkan uji sahih Peraturan Menteri Agama (PMA).
PMA tersebut sebagai aturan turunan PP No. 31 Tahun 2019 tentang Jaminan Produk Halal yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 29 April 2019. Semua persiapan pelaksanaan sertifikasi halal diharapkan berjalan sesuai rencana.
"Karena BPJPH sebagai PK-BLU, kami sedang mempersiapkan rencana bisnis dan anggaran, draf PMK tarif layanan, roadmap JPH, elektronifikasi layanan melalui sistem informasi manajemen halal (SimHalal)," jelas Mastuki.
BPJPH juga sedang mempersiapkan kerjasama dengan berbagai stakeholders dan mitra strategis. Kemudian BPJPH juga melakukan komunikasi intensif dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang selama ini sebagai pelaksana sertifikasi halal. Mastuki berharap semua persiapan tersebut bisa dirampungkan sebelum 17 Oktober 2019.
"Uji coba dan masa transisi penyelenggaraan jaminan produk halal oleh BPJPH akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Kami optimis bisa mempersiapkan secara maksimal dengan SDM yang cukup dan dukungan jajaran Kemenag di daerah (Kanwil dan Kantor Kemenag), serta PTN dan PTS, dan Yayasan Islam di daerah," ujar dia.