REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani menyatakan, pemberian dana Corporate Social Responsibility (CSR) itu bersifat sukarela. Di dalam UU Perseroan Terbatas, CSR lebih diutamakan pada perusahaan yang memiliki dampak lingkungan seperti pertambangan.
"Di peraturan pemerintah pun clear, tanggung jawab sosial lingkungan itu diputuskan sendiri oleh perusahaan. Besaran dan sebagainya ditentukan perusahaan dan dilaporkan dalam RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Intinya itu (urusan) internal perusahaan. Jadi enggak bisa diarahkan ke bidang tertentu," katanya, Ahad (30/6).
Karena itu, Hariyadi memaklumi ide Kementerian Agama menggunakan dana CSR untuk peningkatan kualitas madrasah. "Semua juga pada mintanya begitu, ingin dana CSR. Sebetulnya perusahaan juga enggak happy, loh ini kok begini ya, bukannya kita sudah bayar pajak ke negara?," tambah dia.
Dalam kondisi di mana pelaku usaha sudah bayar pajak, menurut Hariyadi, seharusnya negara-lah yang mendistribusikan uang pajak itu ke berbagai sektor sesuai kebutuhannya. Termasuk sektor pendidikan yang berdasarkan UU Dasar 1945 mendapat porsi 20 persen anggaran dari total APBN.
"Menurut pandangan kami di dunia usaha, 20 persen itu sudah lebih dari cukup. Ini 20 persen dari APBN loh. Berarti kalau Rp 2.000 triliun, itu Rp 400 triliun sendiri untuk pendidikan, termasuk di sini madrasah. Ini kan secara keseluruhan, pendidikan umum dan agama. Itu masuk semuanya," tuturnya.
Hariyadi mengakui, ada perusahaan yang menggelontorkan dana CSR. Biasanya, perusahaan menyalurkan dana CSR karena sesuai dengan bidang yang digeluti perusahaan. Misalnya perusahaan yang bergerak di bidang makan dan minum, maka akan membantu agar bagaimana masyarakat mudah mengakses air bersih.
Jika suatu perusahaan bergerak di bidang makanan, maka akan membantu mengedukasi anak-anak soal bagaimana mengonsumsi makanan yang bergizi. "Jangan sampai nanti semua orang mengharapkan itu tapi rada enggak pas, karena perusahaan itu punya interest-nya masing-masing," ungkapnya.
Hariyadi menilai, seharusnya dana pendidikan dari APBN dimaksimalkan untuk peningkatan kualitas madrasah. Terlebih, saat ini ada dana yang berasal dari badan amal, zakat, infak, dan sedekah. Menurutnya, dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk madrasah.
"Manfaatkan apa yang sudah ada, yang sudah disediakan dalam APBN, plus tadi bazis. Perusahaan juga banyak yang bayar zakat ke bazis, mereka sudah punya pembagiannya, sudah dihitung," kata dia.
Kementerian Agama sebelumnya menyampaikan harapannya agar dunia usaha menyalurkan dana CSR untuk peningkatan kualitas madrasah. "Ini saya inginkan. Sesekali ada bantuan dana CSR masuk, namun sistemnya belum terstruktur," kata Direktur Kurikulum, Sarana-Prasarana, Kesiswaan dan Kelembagaan (KSKK) Madrasah Kemenag, Ahmad Umar.
Umar mengatakan, selama ini ada beberapa BUMN yang memang memberikan bantuan sarana dan prasarana, tapi jumlahnya tidak banyak. Bantuan yang diberikan ini bersifat insidental dan tidak berkesinambungan. Biasanya bantuan ini diberikan saat direktoratnya menggelar kegiatan.
Perusahaan membantu dari sisi perlengkapan pelaksanaan kegiatan atau iklan untuk menyemarakkan acara. "Tapi jumlahnya tidak seberapa. Mungkin ke depannya bisa lebih fokus lagi menjalin hubungan dengan perusahaan BUMN atau swasta," katanya.