REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Nasiruddin
Perumpamaan merupakan penjelasan akan sesuatu tetapi lewat sesuatu yang lain. Dari sesuatu yang rumit dan belum terang bisa dijelaskan secara sederhana lewat perumpamaan akan sesuatu yang mudah dan indrawi.
Sebutlah pendapat tokoh yang mencla-mencle bisa disebut bagai air di daun talas; mempercayai pihak yang tidak mampu bisa diumpamakan bergantung di akar lapuk; membiarkan kejahatan berkembang dikatakan sebagai memperluas kandang musang. Inti dari perumpamaan memang penyamaan sifat tetapi selalu dengan penyederhanaan masalah.
Gaya perumpamaan ini bukan melulu komunikasi sesama manusia, karena Allah SWT lewat kalam-Nya dalam Alquran juga sering menjelaskan sesuatu dengan gaya ini. Hanya bedanya, sesuatu yang diperumpamakan oleh Allah SWT meliputi pula hal yang ghaib sehingga hakikat sesuatu itu tidak bisa diketahui manusia selain perumpamaan penjelasnya yang bersifat tafsiri itu. Sementara perumpamaan yang dibuat manusia sekadar penyederhanaan persoalan dan bersifat menerangjelaskannya.
Ketika Allah menerangkan seberapa luas surga, maka diperumpamakanlah dengan seluas langit dan bumi (QS 3: 133). Demikian juga ketika menerangkan amalan orang yang riya, berpamrih keduniaan, disebutlah sebagai abu di atas batu licin yang tertimpa hujan (QS 2: 264). Keduanya memakai perumpamaan hal yang jelas dikenal manusia dan masuk akal sehingga mudahlah kita menangkap kejelasan maksud Allah itu, kendatipun hakikatnya masih wallahu a'lam.
Akan lebih menantang lagi saat Allah memberi penjelasan tentang surga dengan perumpamaan akan taman, air, pelayan, dipan, buah-buahan, dan ucapan salam, maka hal yang bisa kita tangkap maksudnya adalah kenikmatan, kesejahteraan, dan kedamaian.
Soal hakikat surga itu bagaimana, sama sekali bukan merupakan wilayah kewenangan manusia. Benar-benar sesuatu yang ghaib. Bahkan, hadis riwayat Bukhari-Muslim menegaskan tentang kehidupan akhirat sebagai ''tiada pernah mata melihat, tiada pernah telinga mendengar, dan tiada akan pernah terlintas di akal pikiran manusia''.
Perumpamaan sebagai pembanding memang harus bisa ditangkap oleh lawan bicara, sehingga selalu lebih sederhana dan lebih jelas dibandingkan hal yang diperumpamakannya. Saat Allah menerangkan sesuatu yang ghaib tidaklah tepat dengan keterangan yang juga ghaib. Maka, pilihan penjelasan dengan perumpamaan yang sudah dikenal manusia merupakan hal yang tepat.
Dengan gaya perumpamaan ini, sebuah penjelasan akan lebih menarik karena ada tantangan untuk menyibak maksud yang dikandungnya. Bisa saja kita berlainan pendapat dalam menangkap maksud kandungan perumpamaan itu, karena daya, kemampuan, dan pengetahuan kita tidaklah sama. Bahkan, tafsiran kita sendiri pun saat ini boleh berbeda dengan di saat lain.
Bukankah menarik dan menantang untuk bisa menyingkap maksud perumpamaan bahwa kehidupan dunia ini ibarat titik air hujan? (QS 18:45). Begitulah kehendak-Nya mengenai perumpamaan, yakni sebagai peringatan (QS 14:25), dan sebagai renungan pemikiran (QS 59:21). Wallahu a'lam.