REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Zaid bin Tsabit RA adalah sekretaris Nabi SAW. Ia mencatat setiap wahyu yang turun dalam pelepah kurma, batu, atau media apa pun yang ia temui. Maka tak heran jika ilmu Zaid bin Tsabit begitu mendalam. Ia menjadi rujukan bertanya.
Suatu ketika, ia baru saja selesai menshalati jenazah kaum Muslimin. Begitu keluar, ia disodorkan seekor baghal, sebuah keledai kecil. Baghal biasa digunakan sebagai kendaraan pada masa itu. Begitu Zaid naik, buru-buru Ibnu Abbas RA memegang tali kekang.
Keponakan Nabi Muhammad SAW itu tak ingin kehilangan momen. Momen untuk memuliakan ahli ilmu dari kalangan sahabat. Ia pun spontan meraih tali kekang dan menjadi penuntun Zaid bin Tsabit. Merasa tak enak hati, Zaid pun menolak dengan lembut. "Tidak usah begitu wahai keponakan Rasulullah SAW."
Namun, Ibnu Abbas RA paham. Seorang ulama harus dihormati. Seorang guru harus dimuliakan. "Beginilah cara kami," kata dia, "untuk memuliakan ulama dan orang-orang besar."
Kita paham seberapa besar peran kedua sahabat itu. Ibnu Abbas RA adalah keluarga Nabi SAW. Ia pun dikenal sebagai ahli Alquran. Namun, terhadap sosok yang ia anggap memiliki kefakihan dalam agama, ia begitu menghormatinya.
Sebagai penuntut ilmu, kita sering lupa dengan peran besar guru-guru kita. Saat melafalkan al-Fatihah dalam tiap rakaat shalat, kita kadang tak ingat lagi bagaimana wajah guru-guru saat TK, TPA, atau sekolah agama kita dulu.
"Aku merendahkan diriku kepada para ulama. Seseorang tidak akan dimuliakan jika ia tidak merendahkan dirinya," ujar ulama besar yang ajarannya banyak dipakai di Indonesia, Imam Syafi'i. Sosok Imam Syafi'i yang menjadi rujukan banyak ulama lain begitu memahami cara memuliakan gurunya.
Cara beliau memuliakan gurunya pun sampai pada level yang kita sering anggap remeh-temeh. "Aku," kata Imam Syafi'i, "membalik lembaran halaman di hadapan Imam Malik dengan sangat pelan karena segan kepadanya agar ia tidak mendengar suaranya."
Adab seorang murid kepada guru adalah salah satu adab yang harus diketahui para penuntut ilmu dalam Islam. Para ulama telah menggariskan bahwa memahami adab adalah bagian dari awal mula mendalami ilmu tersebut.
Penghormatan ini tidaklah dimaksudkan untuk mengkultuskan atau berlebihan dalam menghormatinya. Namun, dimaksudkan bersungguh-sungguh dalam menghormati seorang alim dan mengetahui kedudukannya.
Bahkan, sosok Ibnu Jama'ah merinci bagaimana bentuk-bentuk penghormatan seorang penuntut ilmu kepada gurunya. Ia menerangkan, para penuntut ilmu jangan berbicara dengan gurunya dengan kata ganti orang kedua, semisal "kamu" dan "engkau" serta janganlah memanggil gurunya dari jauh.
Seseorang juga mesti mengetahui apa saja hak guru, tak melupakan jasanya, mengagungkan kehormatannya, menolak gibah tentangnya, serta mendoakan guru sepanjang waktu. Bahkan, para ulama memiliki adab tak melakukan debat dengan orang yang lebih alim.
Maimun bin Mihran pernah berkata, "Janganlah kamu mendebat orang yang lebih alim daripadamu. Jika engkau melakukannya, maka ia akan menyimpan ilmunya darimu sedang ia tak merugi sedikitpun."
Betapa terperincinya bentuk penghormatan para ulama terhadap para gurunya. Kita pun akhirnya pantas bercermin. Apakah selama ini kita justru merepotkan para guru kita atau bahkan menyusahkan. Menjadi guru di negeri ini bisa jadi lebih bermakna pengabdian dibanding penghidupannya. Mereka rela berbagi ilmu, meski mereka tahu tak ada balasan yang pantas untuk mereka melanjutkan kehidupan.
Menjadi guru adalah sebentuk investasi amal akhirat. Mereka meresapi betul jika apa yang kita kumpulkan di dunia ini tak dibawa ke mana-mana setelah mati. Namun, para guru itu memiliki penerang kubur yang akan mengalir meski raga mereka sudah divonis mati. Ilmu yang bermanfaat, kata Nabi SAW, adalah salah satu amal yang akan tetap mengalir meski sang empunya wafat.
Pengabdian tulus para guru itu sering tak terbalas dengan sempurna. Betapa headline-headline pemberitaan terus mengisahkan kepiluan para guru. Penghormatan yang seharusnya mereka dapatkan hanya berupa angan-angan semata.
Penguasa mungkin sudah berusaha. Namun, jika masih ada guru, ustaz, dan ulama yang sendirian berjuang, masih ada yang mesti diperbaiki. Penguasa pun harus memiliki adab yang sama seperti halnya para penuntut ilmu.
Mereka pantas menyimak penuturan Hamdan al-Ashbahani ini, "Suatu ketika aku di majelis Syarik, lalu datanglah kepadanya salah seorang anak khalifah al-Mahdi. Anak itu lantas masuk saja, kemudian bersandar di dinding dengan santai. Lantas, sang anak menanyakan sesuatu kepada Syarik mengenai hadis. Namun, Syarik tak menoleh. Anak itu lantas mengulangi pertanyaannya, namun Syarik terus memandangi murid lainnya. Sang anak khalifah kemudian berkata, 'Apakah engkau merendahkan anak khalifah?' Syarik lantas menjawab, 'Tidak. Akan tetapi ilmu lebih mulia di sisi Allah daripada aku merendahkannya,'."