Kamis 16 May 2019 20:24 WIB

Nasihat Sufistik tentang Hakikat Puasa Ramadhan

Pandangan sufistik membantu kita menemukan hakikat puasa Ramadhan

Ilustrasi Ramadhan
Foto: Pixabay
Ilustrasi Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Prof Abdul Hadi WM

 

Baca Juga

Bulan puasa telah tiba,

Larangan raja mulai berlaku.

 

Jauhkan tanganmu dari makanan tubuh,

Hidangan rohani telah tersedia.

Roh bebas dari tempat pengasingannya,

Membekuk tangan tabiat jelek.

Hati yang sesat telah ditaklukkan,

Pasukan iman telah sampai...."

Itu sepenggal kata-kata penyair-sufi Jalaluddin Rumi dalam sebuah kasidahnya. Kata-kata yang bersahaja, namun mendalam.

Kebanyakan orang memahami arti "puasa" (shaum) secara harfiah, yaitu 'menahan', tepatnya 'menahan lapar' sebagai latihan pengendalian diri.

Disebabkan berhenti pada makna harfiahnya, kita sering lalai akan makna hakiki puasa.

Larangan saja. Selain tak menyentuh makanan, lantas terabaikan. Hidangan rohani yang tersedia tidak sempat pula disentuh.

Banyak orang berhasil berpuasa satu bulan penuh sepanjang Ramadhan tidak merasakan perubahan yang berarti dalam dirinya.

Hal-hal yang dilarang agama dan merugikan masyarakat, tetap saja dilakukan. Kebiasaan mengumbar nafsu berlangsung terus. Pengalaman keagamaan yang diperolehnya selama menjalankan ibadah puasa dan shalat tarawih tidak berbekas sedikit pun.

***

Syekh Ali Utsman al-Hujwiri, seorang salik abad ke-11 asal Afghanistan, mencoba menjelaskan sebab-sebab kecenderungan demikian muncul sebagai fenomena umum di kalangan umat Islam.

Banyak orang lupa, ibadah puasa adalah suatu perjuangan batin menaklukkan kecenderungan buruk dalam diri kita. Ini disebut mujahadah. Tujuannya untuk mencapai kesaktian yang mendalam (musyahadah) akan keesaan dan kasih sayang Tuhan.

Mujahadah dan musyahadah, jika dihayati sungguh-sungguh, merupakan medan perang bagi manusia. Pertempuran untuk menaklukkan kecenderungan buruk dari sifat-sifatnya sebagai binatang berakal (al-haywan al-natiq), makhluk berpolitik (zoon politicon), dan binatang ekonomi.

Salah satu bentuk mujahadah itu ialah menahan lima indera kita. Sebab, semua pengetahuan--kecuali pengetahuan intuitif atau makrifat--diperoleh melalui lima indera: penglihatan, pendengaran, pencecapan, penciuman, dan perabaan. Empat dari indera itu mempunyai tempat khusus di tubuh manusia, sedangkan yang kelima--perabaan--tersebar ke seluruh tubuh.

Tubuh memiliki dua aspek yang melekat pada dirinya melalui pertumbuhannya, yakni kesucian dan ketidaksucian. Maka, kelima indera tersebut terbuka pula bagi kedua oposisi biner itu.

Mereka terbuka pada pengetahuan yang baik dan bermanfaat, serta pengetahuan yang membawa kepada kebenaran. Namun, terbuka pula peluang bagi khayalan sesat dan hawa nafsu.

Puasa dapat dipandang sebagai bentuk pengabdian yang tulus dari seorang hamba kepada Rabbnya. Puasa tidak hanya terkait dengan rasa lapar.

"Berpantang dari makanan dan minuman," ujar seorang ulama sufi, "adalah permainan anak-anak."

Orang sebenarnya juga harus berpantang dari kesenangan yang sia-sia, perbuatan yang dilarang Sang Maharaja, Allah Ta'ala.

Memakan makanan yang halal tidak dilarang. Hal itu hanya tertunda hingga saat buka puasa dan jelang fajar lagi.

Sebagai latihan pengendalian diri, puasa memang ampuh sebagai jalan untuk melakukan reformasi diri dengan melakukan "pembalikan nilai-nilai" (umwerthung aller werthe). Memandang tubuh tak lebih mulia daripada jasmani hewan apabila kerjanya hanya makan, minum, tidur, dan bersenggama.

Sebaliknya, seorang yang beragama mesti memandang bahwa jiwa dan hati yang bersih mengungguli tubuh dalam segala hal.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement