REPUBLIKA.CO.ID, Dia sudah terbiasa mengunjungi sinagoge. Setidaknya sekali dalam sepekan. Di sana, Uri dan keluarganya memanjatkan doa, mengutarakan harapan diri sendiri dan keluarga. Bersama penganut Yahudi lainnya, dia tenggelam dalam suasana religius.
Namanya Uri Davis. Lahir di Yerusalem pada 1943. Ketika itu, Palestina menjadi negara jajahan Inggris. Migrasi orang Yahudi ke Palestina selalu terjadi. Datang dengan kapal laut, pada mulanya mereka meramaikan daerah pesisir. Kemudian berjalan memasuki setiap sudut Palestina.
Bermodal dukungan negara Barat, sebagian dari mereka mendirikan pemerintahan dan bala tentara yang kemudian menginjak-injak dan membantai masyarakat pribumi Palestina. Di atas darah masyarakat Palestina, mereka mendeklarasikan Israel sebagai negara Yahudi.
Dalam suasana seperti itulah Uri Davis menjalani masa kecil. Baku hantam antara militer Israel dengan orang sipil Palestina bukanlah hal yang aneh.
Saking sering menyaksikan hal tersebut, Uri berpikir, bukankah ada hal lain yang lebih mulia? Di mana kebersamaan, kekeluargaan yang banyak ditemukan di belahan dunia lain? Mengapa itu tidak ada di Yerusalem, kota tempat dia tumbuh menjadi manusia dewasa.
Ayahnya bernama Joseph Stanley, seorang Yahudi Inggris yang bertemu ibunya, Blanca Bluhme Kacerova, seorang warga Slowakia, di British Mandatory Palestine pada pertengahan 1930-an. Sembilan tahun kemudian, mereka membangun rumah tangga. Empat tahun kemudian, mereka dikaruniai Uri yang makin mengikat asmara keduanya.
Meski menganut Yahudi, Uri tak setuju dengan zionisme. Yahudi dinilainya sebatas agama yang tidak perlu mendirikan negara. Tidak perlu membesar-besarkan zionisme yang mengakibatkan pertumpahan darah.
Tinggal di Israel, Uri terkena keharusan untuk mengikuti wajib militer. Ini sesuatu yang menurutnya membebani kehidupan. Sebab, usia muda seharusnya dimanfaatkan untuk menemukan terobosan, sehingga menjadi kebanggaan dan modal menunjukkan eksistensi. Saya berusaha untuk menolak, ceritanya, sebagaimana diberitakan the Guardian.
Seorang prajurit militer membawanya ke pinggiran, memisahkan Uri dari barisan pemuda. Dia dibawa mendekati pepohonan nan rindang. Apa yang kamu lihat di sini? tanya si prajurit. Uri menjawab "pepohonan". Lalu pemuda itu dibawa makin dalam memasuki hutan. Di sana mereka menemukan tumpukan batu-batu.
Si prajurit menjelaskan, batu-batu ini dipakai masyarakat setempat untuk menimpuki prajurit Israel. Tentara tadi ingin membakar amarah Uri agar menganggap orang Palestina sebagai musuh. Namun, itu tak terjadi. Ada alternatif.
"Kita bisa mengundang mereka dan saling berbagi. Ada harapan yang bisa kita upayakan untuk hidup bersama," ujar pemuda tersebut.
Namun, pendapat itu tak didengar. Meski terus membantah, Uri tetap harus mengikuti wajib militer. Wajib militer dijalaninya dengan kesal.
Ketika menjadi pemuda, dia bertemu dengan wanita Yahudi, Nira Yuval, di Yerusalem pada 1965. Keduanya sering bertemu dan menemukan kecocokan, sehingga melangsungkan pernikahan pada tahun yang sama.
Namun, mahligai asmara yang mereka bangun ternyata runtuh 10 tahun kemudian. Jurang perbedaan memisahkan keduanya. Ada perbedaan pendapat. Sedangkan keduanya bersikeras pada pendirian masing-masing. Perpisahan menjadi jalan yang mereka tempuh. Pada 1977, mereka resmi hidup sendiri-sendiri.
Meski baru bercerai, Uri begitu cepat mendapatkan penggantinya. Pada tahun yang sama, dia menikahi Tosje Maks di Zeist, wanita asal Belanda. Namun, lagi-lagi harus bercerai setelah hidup bersama selama 12 tahun.
Pada 1985, dia mengunjungi Oslo untuk bekerja. Di sana, dia bertemu dengan Sirkku Pajunen dan menikah dengannya. Namun, tetap saja ada ketidakcocokan. Setelah 21 tahun hidup bersama, akhirnya mereka berpisah juga.