REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Ilyas Ismail MA
Masalah si miskin dan si kaya pernah menjadi perdebatan sengit di kalangan para sufi. Siapa yang lebih baik di antara keduanya? Si miskin yang sabar atau si kaya yang pandai bersyukur dan murah hati?
Sebagian sufi, seperti Harits al-Muhasibi dan Imam al-Ghazali, memberikan keutamaan (afdhaliyah) kepada si miskin. Sedang sufi lain memberikan keutamaan justru kepada si kaya dengan merujuk kepada sehabat-sahabat Nabi saw, yang hartawan, tapi dermawan, semacam Utsman Ibn 'Affan dan Abdul Rahman Ibn 'Auf.
Sementara Ibn Taimiyah, pembaharu pramodern yang sangat kritis terhadap tasawuf, mengemukakan pemikiran baru dalam masalah ini. Dalam buku bertajuk Al-Shufiyah wal-Fuqara, Ibn Taimiyah memberikan keutamaan bukan kepada si kaya atau si miskin, melainkan kepada orang yang lebih bertakwa di antara keduanya. (Kitab Al-Shufiyah wal-Fuqara', hlmn. 25-26).
Menurut Ibn Taimiyah, bila kebaikan si miskin lebih banyak, maka ia lebih utama. Sebaliknya, bila kebaikan si kaya lebih banyak, maka si kaya lebih baik. Jika kebaikan mereka sama, maka kemuliaan mereka sederajat dan setingkat.
Hanya, dalam kasus ini, tutur Ibn Taimiyah, si miskin lebih dahulu melangkah ke surga daripada si kaya. Karena langkah si kaya tertahan sejenak di depan pintu surga lantaran harus menyelesaikan perhitungan (hisab) mengenai harta dan kekayaan yang dimiliki.
Miskin dan kaya, seperti dikemukakan Ibn Taimiyah di atas, tidak menjadi dasar keutamaan seorang. Dasar mengenai itu, tetap iman dan takwa. Di sini, miskin dan kaya hanya dapat diidentifikasi sebagai alat uji semata.
Sebagai alat uji, keduanya diyakini dapat memberi pengaruh terhadap perilaku manusia, baik maupun buruk. Pengaruh ini, tentu sangat bergantung kepada kesiapan mental penerima ujian. Untuk itu, ada manusia yang tidak siap dengan kemiskinan, sehingga kemiskinan, seperti kata Nabi saw, dapat mendekatkan manusia kepada kekufuran. (HR Baihaqi).
Sebaliknya, banyak pula manusia yang tidak siap dengan kekayaan, sehingga kekayaan membuat dirinya menjadi pelit dan sombong. Inilah makna firman Allah, "Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benar melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup." (Al-'Alaq: 6-7).
Sebagai alat uji, kefakiran dan kekayaan itu tidak kekal, tapi bersifat dinamis, artinya berubah dan berputar. Nabi Muhammad sendiri, pada mulanya tergolong miskin, tapi kemudian Allah SWT membuat dirinya kaya (Al-Dhuha: 9). Maksud kaya di sini, menurut sebagian besar ahli tafsir, adalah kaya harta. Hal ini, karena perkataan 'dibuat kaya' (Aghna) dalam ayat ini disandingkan dengan perkataan miskin ('Aailan).
Namun, menurut Abdullah Yusuf Ali, kaya di situ lebih menunjuk pada kekayaan rohani dan spiritual. Dengan kekayaan ini, lanjut Yusuf Ali, Nabi saw bukan saja dapat mengatasi kebutuhan-kebutuhannya yang bersifat duniawi, tetapi juga mampu memusatkan semua perhatian dan seluruh waktunya untuk bekerja dan beribadah kepada Allah swt. Wallahu a'lam.