Selasa 09 Apr 2019 20:45 WIB

Selain Haram, MUI Tegaskan Politik Uang Rusak Demokrasi

MUI keluarkan fatwa haram politik uang.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Nashih Nashrullah
Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri MUI, KH Muhyiddin Junaidi (kiri), Wakil Ketua MUI Pusat, Prof Yunahar Ilyas (tengah) dan KH Zainut Tauhid Sa'adi (kanan) usai menyampaikan taushiyah MUI jelang pemilu serentak di kantor MUI, Selasa (9/4).
Foto: Republika/Fuji E Permana
Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri MUI, KH Muhyiddin Junaidi (kiri), Wakil Ketua MUI Pusat, Prof Yunahar Ilyas (tengah) dan KH Zainut Tauhid Sa'adi (kanan) usai menyampaikan taushiyah MUI jelang pemilu serentak di kantor MUI, Selasa (9/4).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengingatkan bahwa politik uang akan membuat sistem demokrasi rusak. Oleh karena itu MUI pernah mengeluarkan fatwa tentang politik uang.

"Politik uang itu perbuatan yang dilarang dan diharamkan, karena pasti merusak semuanya jadi kalau politik uang dilaksanakan akan merusak sistem demokrasi itu sendiri," kata Prof Yunahar kepada Republika usai Taushiyah MUI tentang Pemilu Serentak 2019 di kantor MUI, Selasa (9/4). 

Baca Juga

Prof Yunahar mengatakan, pemilu bertujuan untuk mencari pemimpin yang baik, adil, dan amanah. Kalau dalam praktiknya menggunakan politik uang, maka tujuan tersebut tidak akan tercapai.  

Dia menegaskan, yang jelas tidak akan diridhai Allah  SWT jika melakukan politik uang. Bahkan orang yang menyuap maupun yang menerima suap bisa mendapatkan kutukan.  

Sementara Ketua MUI Bidang Fatwa, Prof Huzaemah Tahido Yanggo menambahkan, MUI pernah mengeluarkan fatwa agar umat Islam menggunakan hak suaranya untuk memilih pemimpin yang baik. Umat Islam juga wajib memilih pemimpin yang shidiq (jujur), tabligh (pendakwah), amanah, dan fathanah (cerdas). 

Huzaemah mengatakan, MUI telah mengeluarkan fatwa tapi tidak ada kata-kata golput di dalamnya. Dalam fatwa disebutkan siapa yang tidak menggunakan hak pilihnya padahal ada pemimpin yang dapat memenuhi kriteria atau syarat untuk dipilih. Maka haram hukumnya tidak memilih pemimpin.

"(MUI) hanya menyerukan di situ disebutkan wajib hukumnya, berkewajiban untuk memilih pemimpin yang shidiq, tabligh, amanah dan fathanah, disebutkan juga (di dalam fatwa, pemimpin) yang beriman dan bertakwah," ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement