REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kesultanan Malaka dipengaruhi tradisi kepemimpinan Persia Muslim yang memandang tinggi kedudukan raja. Hal ini ditandai dengan penyematan gelar-gelar yang menyanjung raja-raja Malaka. Gelar demikian, umpamanya, tampak pada koin mata uang setempat. Di antaranya adalah sebutan Nashir al-Dunya wa al-Din atau Zhil Allah fi al-‘Alam. Hal itu dijelaskan Barbara W Andaya dalam buku Historic Cities of the Islamic World (2007).
Pada masa Sultan Mansur, persebaran Islam digiatkan antara lain melalui lembaga pernikahan. Dia menganjurkan agar pria Muslim menikahi para perempuan tempatan yang masih beragama non-Islam. Dengan begitu, kaum yang belum menerima Islam diharapkan akan lebih bertoleransi atau bahkan ikut memeluk agama ini. Sang sultan juga mengimbau seluruh rakyatnya agar menjalankan shalat berjamaah secara tepat waktu.
Penerapan hukum syariat berjalan efektif pada era ini. Walaupun condong pada Islam, tata pemerintahan di Malaka masih memberi ruang bagi orang-orang non-Muslim yang piawai khusus pada jabatan selain imam, kadi, khatib, mufti, atau mubaligh.
Sultan Mansur juga berupaya mendirikan masjid negeri. Cita-citanya yang tidak kesampaian adalah menunaikan ibadah haji karena ajal lebih dahulu menjemputnya. Penggantinya merupakan anaknya sendiri, Sultan Alauddin Riayat Syah, yang dikenal sebagai sosok yang saleh dan adil. Seperti ayahnya, dia juga berkeinginan untuk berangkat ke Tanah Suci.
Namun, dalam usia 30 tahun dia wafat diduga lantaran diracun pihak-pihak yang membencinya. Andaya mengungkapkan, hingga akhir abad ke-19, tidak ada satu pun raja-raja Melayu yang dapat mewujudkan niat pergi haji.
Pada umumnya, Kesultanan Malaka menjalankan aturan hukum tertulis secara baik. Dalam Undang-Undang Malaka, Alquran dan Sunnah diposisikan sebagai pedoman utama dalam menata masyarakat. Pihak kerajaan menggaji para ahli syariat sehingga dapat menjatuhkan putusan seadil-adilnya dalam setiap perkara.
Di negeri ini, para pelaku bisa dihukum tidak hanya berdasarkan aturan syariat, melainkan juga adat. Selama paruh kedua abad ke-15, Kesultanan Malaka telah bertransformasi menjadi salah satu pusat pendidikan Islam kelas dunia. Pihak kerajaan mendukung penuh para ulama setempat maupun yang datang ke negeri ini, baik secara politik, keamanan, maupun finansial.
Banyak mubaligh asal Malaka yang kemudian mengajarkan agama Islam ke masyarakat di Filipina Selatan, Kalimantan, dan Jawa, khususnya pada lingkungan keraton.
Kesultanan Malaka diuntungkan dengan fakta bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) di Nusantara. Para pedagang dari timur, misalnya Jawa, Kalimantan, atau Maluku, tidak sedikit dibekali dengan pengetahuan akan Islam selama kapal-kapalnya bersandar di Malaka.
Sultan Malaka juga secara aktif mengirimkan utusan kepada daerah-daerah pesisir di Jawa agar masyarakat setempat memeluk Islam. Sampai sekarang, kerajaan ini dikenang atas jasa-jasanya mengembangkan identitas yang memadukan etnis dan agama, yakni bahwa menjadi Melayu adalah menjadi Islam.