Rabu 20 Mar 2019 20:56 WIB

Tokoh Lintas Agama: Teror Christchurch Aksi Ideologis

Motivasi utama adalah Islamofobia dan kebencian kepada imigran.

Rep: Fuji E Permana / Red: Nashih Nashrullah
Cendekiawan Muslim, Komaruddin Hidayat
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Cendekiawan Muslim, Komaruddin Hidayat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tokoh agama, kepercayaan, dan masyarakat di Indonesia mengecam sekeras-kerasnya tindakan teror di Masjid Al Noor dan Masjid Linwood, Christchurch, Selandia Baru pada Jumat (15/3). 

Mereka menilai aksi teror yang membuat puluhan umat Islam meninggal dunia itu merupakan aksi ideologis, bukan aksi teror asal-asalan.

Baca Juga

"Kami juga tahu berdasarkan informasi yang ada pada kami, bahwa tindak teror penembakan ini bukanlah tindakan asal-asalan (random act), melainkan tindakan yang ideologis," kata mantan rektor UIN Jakarta, Profesor Komarudin Hidayat saat menyampaikan pernyataan sikap para tokoh agama dan masyarakat Indonesia di Kantor Kemenag, Rabu (20/3).  

Komarudin mengatakan, tindakan teror yang ideologis tersebut bisa dibaca dalam manifesto yang secara terang-terangan disiarkan pelakunya. Motivasi utama di balik teror itu adalah Islamofobia dan kebencian kepada imigran (xenofobia).   

Para tokoh agama dan masyarakat di Indonesia menyatakan bahwa Islamofobia dan xenofobia atau kebencian terhadap orang asing adalah ideologi serta cara pikir yang sesat. Hal tersebut sangat berbahaya bagi kemanusiaan. Para tokoh agama dan masyarakat di Indonesia mengecam pikiran tersebut sekeras-kerasnya.  

"Ajaran agama dan kepercayaan kami mendakwahkan cinta antarmanusia dan hidup bersama secara damai," ujarnya.  

Komarudin juga menyampaikan, pihaknya dengan tegas mengecam dan menolak upaya sebagian kalangan yang menggunakan aksi teror di Selandia Baru untuk menyebarkan kebencian. 

Pelaku sengaja menggunakan teror untuk menyebar kebencian kepada non Muslim atau dunia Barat sebagaimana terlihat di media sosial.  

Dia menegaskan, tindakan semacam itu sangat tidak bermoral dan tidak bertanggung jawab. Justru tindakan itu akan menciptakan lingkaran kebencian yang tiada habis-habisnya. Pihaknya juga menolak aksi tersebut digunakan sebagai komoditas politik.

Sebelumnya, Duta Besar (Dubes) Australia untuk Indonesia, Gary Quinlan, mengunjungi Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk membahas aksi teroris di Selandia Baru. Gary mengungkapkan kekhawatiranya akan adanya serangan balasan dari teroris lain.  

Gary mengatakan, khawatir tindakan teroris di Christchurch ditiru teroris lain untuk melakukan balas dendam. 

Menurutnya memang ada risiko serangan balasan. "Ini ancaman yang kami hadapi sepanjang waktu, kami harus sangat berhati-hati," katanya di Kantor MUI Pusat, Selasa (19/3).  

Dia mengungkapkan, tidak punya solusi ajaib untuk menghentikan lingkaran kebencian yang mungkin terjadi akibat serangan teroris pada Jumat lalu.

Namun, dialog antaragama dinilai perlu lebih diintensifkan. Masyarakat beragama harus melakukan sesuatu bersama-sama.

Ketika masyarakat melakukan kegiatan bersama, mereka memiliki tujuan yang sama untuk kemajuan, keamanan dan komunitas. Kerjasama itu dinilai akan menghasilkan sesuatu yang baik. 

Sebelumnya, seorang pria Australia berusia 28 tahun, Brenton Tarrant didakwa telah melakukan pembunuhan terhadap puluhan umat Islam saat melaksanakan ibadah sholat Jumat di Christchurch pada Jumat (15/3).

Sebanyak 50 umat Islam di Masjid Al Noor dan Masjid Linwood wafat akibat teror brutal Tarrant. Sementara, puluhan umat Islam lainnya mengalami luka-luka.  

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement