Selasa 19 Mar 2019 13:27 WIB

Sajak Seratus Kata dan Perkembangan Islam di China

Kaisar dari abad ke-14 ini menggubah sajak dalam peresmian masjid

Warga melintas di halaman Masjid Niujie, di Beijing, Cina, Rabu (3/5).
Foto: Antara/Zabur Karuru
Warga melintas di halaman Masjid Niujie, di Beijing, Cina, Rabu (3/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peradaban Cina menerima Islam secara intens kira-kira pada abad ke-14. Hal itu tercermin dari kisah seorang kaisar yang turut serta dalam meresmikan masjid di wilayah kekuasaannya. Hal itu diungkap guru besar sejarah Islam dari Universitas Beijing, Prof Kon Ghuang Zhi.

Pada 1368 atau tahun pertama kekuasaannya, Kaisar Zhu merestui pembangunan Masjid Jing Jue atau Masjid Jalan San San di Nanjing, ibukota kerajaan Ming kala itu. Pada saat peresmian masjid tersebut, secara khusus sang kaisar membuat sajak penghargaan yang terkenal sebagai "Sajak Seratus Kata."

Baca Juga

Sajak ini berisi syair-syair yang mengagungkan Nabi Muhammad SAW dan ajaran Islam. Sejak itu pembangunan masjid berjalan di berbagai kota besar lainnya, seperti Masjid Jalan Da Xue Xi di kota Xi An (1382). Dakwah Islam pun berkembang lewat dai-dai yang khusus didatangkan dari Arab. Tokoh-tokoh dakwah di masa itu antara lain Haji Amir (1407), Muhammad (1464), Fana (1468) dan Zhan Ma Lu Din (Jamaluddin, 1469).

Pada masa itulah Islam berkembang cukup pesat di Cina. Hal itu terutama lantaran kehadiran ulama-ulama dari Arab yang mengajarkan agama ini kepada penduduk setempat.

 

Tentu saja, Kaisar mendukung penuh gerakan dakwah ini. Titahnya banyak yang diukir dalam batu, untuk kemudian diletakkan pada bangunan masjid-masjid.

Namun, ada pula pemimpin-pemimpin yang berupaya membatasi pengaruh Islam. Misalnya, beberapa kaisar non-Muslim yang kemudian melakukan berbagai kebijakan. Sebut saja, pembatasan kawin dalam kelompok masyarakat Muslim dengan masyarakat tempatan.

Akibatnya, banyak Muslim yang utamanya dari suku bangsa Hui menikah dengan suku bangsa Han. Uniknya, bangsa Han yang menikah dengan bangsa Hui, secara otomatis menjadi bangsa Hui sehingga memeluk Islam. Dengan demikian, justru semakin banyak pemeluk Islam di Cina dan membentuk permukimannya sendiri.

Dengan adanya banyak permukiman Muslim, kebutuhan akan pendidikan semakin besar. Maka dibangunlah madrasah, pesantren, dan masjid-masjid di pemukiman Muslim.

Tokoh utama dalam pendidikan Islam di Cina waktu itu adalah Haji Hu Dengzhou (1522-1597). Para pelajar Muslim itu tinggal dan belajar di sekolahan Islam (pesantren) tersebut dengan bimbingan seorang ulama. Berhubung pada masa itu hanya ada sedikit Alquran, maka banyak santri yang belajar sambil menyalin. Tidak lama sesudah itu, banyak dilakukan penerjemahan buku-buku Islam ke dalam bahasa Cina.

sumber : Islam Digest Republika/Rif
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement