Jumat 08 Mar 2019 21:58 WIB

Amil Zakat Harus Menjadi Sahabat Mustahik

Amil zakat harus pandai berkomunikasi dan pintar dalam ilmu fikih zakat

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Agung Sasongko
Zakat
Foto: Antara
Zakat

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Kesejahteraan amil zakat saat ini dinilai sudah mulai cukup. Hanya saja dari sisi gaji, memang masih bervariasi tergantung lembaga zakatnya.

Maka, Cendikiawan Muslim Profesor KH Didin Hafidhuddin berharap, ke depannya harus ada standar gaji untuk amil zakat. Pasalnya, para amil juga memiliki keluarga, sehingga perlu diperhatikan biaya hidupnya meliputi kesehatan dan pendidikannya.

Baca Juga

Hanya saja, ia menegaskan, kesejahteraan amil bukanlah fokus utama, sebab kesejahteraan para penerima zakat atau mustahiklah yang harus diutamakan. “Jadi, amil zakat jangan mendahulukan gaji tapi dahulukan kerjanya karena menjadi amil orientasinya bukan gaji,” tegas Prof Didin kepada Republika.co.id

Menurutnya, amil zakat harus mengurusi mustahik sepanjang waktu. Misalnya dengan mendatangi lokasi kemiskinan dan melihat kondisi rumah fakir miskin.

“Amil itu harus terjun ke lapangan serta punya data komplit dan akurat terkait kemiskinan, itu baru amil yang kerjanya full time dan memikirkan mustahik. Jadi jangan menunggu diam di kantor, itu bukan amil,” katanya.

Prof Didin menjelaskan, amil zakat bukanlah pegawai biasa karena profesi ini berkaitan dengan agama. Bahkan kata dia, Allah memuliakan profesi amil sebab sudah memuliakan manusia dengan menyejahterakan orang-orang miskin.

Dengan begitu, kualitas amil juga harus ditingkatkan. Baginya, amil zakat harus bisa menjadi sahabat mustahik, pandai berkomunikasi, pintar dalam ilmu fikih zakat, serta berhati baik.

“Di jaman Nabi Muhammad SAW, para sahabat nabi yang terkemuka seperti Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, dan Mu’adz bin Jabal merupakan amil zakat yang dikenal pintar, jenius, juga amanah. Jadi bukan sekadar pegawai bisasa.

Untuk meningkatkan kualitas pengelola zakat, lanjutnya, amil harus dididik ilmu fikih zakat, dilatih komunikasinya ke masyarakat, dilatih psikologinya, dibangun jiwa organisasinya, diajarkan pengumpulan dan pelaporannya. Jadi dilatih manajemen yang rapi sekaligus cara menulis laporan keuangan yang baik,” ujar Prof Didin.

Lebih lanjut, Prof Didin menjelaskan, dalam Al Quran surat At Taubah ayat 60 disebutkan, amil berhak menerima zakat. Kemudian para ulama bersepakat, amil boleh mengambil maksimal seperdelapan dari dana zakat, sebab ada delapan kategori orang yang berhak menerima zakat.

“Seperdelapan itu sudah banyak, misalnya dana zakatnya berjumlah Rp 1 miliar, maka sepedelapannya sudah Rp 125 juta. Hanya saja perlu diingat, Rp 125 juta tersebut tidak semuanya untuk gaji amil, melainkan untuk biaya administrasi, operasional, serta biaya yang berkaitan dengan tugas amil lainnya,” jelas Prof Didin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement