REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Makmun Nawawi
Dengan mengenakan pakaian yang agak kumal, seorang anak belasan tahun sendu menatap ibu muda yang tengah berjalan bersama anaknya yang umurnya sebaya dengan anak itu. Tak ada tutur kata yang meluncur dari mulut anak itu, hanya sorot matanya mengentakkan pesan yang kuat perihal rintihan anak manusia, yang memelas, memaksa ibu muda itu membalas dengan tatapan yang sama.
Ibu itu bukan tidak tahu tentang maraknya anak-anak yang dieksploitasi, dimobilisasi, dan dilatih sedemikian rupa oleh oknum-oknum tertentu agar menjadi pengemis dan peminta-minta yang profesional. Namun, ada kejujuran yang menyeruak begitu kuat dari anak itu sehingga memaksa ibu itu merogoh lembaran lima ribu satu-satunya di sakunya, yang sebetulnya disiapkan untuk jajan salah satu buah hatinya yang yatim, yang ada di sampingnya.
Dia berpikir, barangkali anak ini adalah utusan Allah yang dikirim untuk menguji diri dan kedermawanannya dan hanya sekali ini kesempatan itu hadir. Padahal, hanya pecahan uang itu yang ia miliki saat itu, tidak lebih, baik yang ada di kantongnya maupun rumahnya.
Sesampainya di rumahnya, wanita yang mengasuh dan membesarkan dua yatim itu pun mengambil air wudhu, shalat, lalu membaca Alquran, seraya berkata lirih, Ya Allah, hamba memang masih punya beras untuk ditanak. Tapi, bagaimana kalau anak-anak hamba minta jajan... Kalau memang Engkau tidak memberi kami rezeki, berilah mereka hidayah agar tidak merengek meminta jajan ini dan itu.
Usai merintihkan doa demikian, ibu itu pun bangun hendak menaruh mushaf di tempatnya semula. Belum juga wanita itu tegak berdiri, tiba-tiba ada yang beruluk salam, seraya mengetuk pintu rumahnya. Ternyata seseorang berdiri tegak di depan pintu rumahnya seraya berujar, Ibu, maaf, mestinya sejak seminggu yang lalu saya menyampaikan amanat ini. Tapi, karena berbagai macam tugas, baru sekarang bisa ke sini. Ini ada amanat buat anak-anak (yatim), sambil menyodorkan amplop. Sesudah itu, orang yang mengenakan pakaian serbaputih itu pun ngeloyor pergi.
Amplop itu pun ditaruh begitu saja, tidak langsung dibuka, dan baru disobek ketika kedua permata hatinya meminta jajan pada hari berikutnya. Ternyata amplop itu berisi uang Rp 500 ribu.
Narasi ini bukan hanya mengokohkan banyak ayat Alquran dan hadis Nabi, melainkan juga menjadi justifikasi dari semacam rumus kehidupan: Bahwa sedekah adalah prasyarat untuk meraih kemudahan dalam hidup, mendapatkan rezeki, menjadi obat penawar dan solusi dari segenap problema dan karut-marut kehidupan.
Selain ungkapan doa yang alami dan polos apa adanya, mengakui kekerdilan diri, ikhlas, seraya menyerahkan seluruhnya kepada Allah, infak dan sedekah yang mendekatkan pada rumus kehidupan tersebut juga dilakukan dalam kondisi sempitsebagaimana yang dilakukan ibu di atas.
Hal ini persis seperti yang difirmankan Allah ketika menjelaskan sifat orang yang bertakwa: (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit (QS Ali Imran [3]: 134).
Ketika menafsirkan ayat ini, Sayyid Quttub menulis: Mereka tetap konsisten dalam kedermawanan, berjalan di atas manhaj, kondisi lapang dan sempit sama sekali tidak mengubah mereka. Kelapangan tidak menjadikan mereka sombong lantas menjadikan mereka terlena dan kesempitan tidak menjadikan mereka berkeluh kesah lalu melupakan kewajiban. Mereka selalu menyadari kewajiban dalam segala keadaan, terbebas dari sikap kikir dan tamak, selalu muraqabah (merasa diawasi Allah) dan senantiasa bertakwa kepada-Nya.