Senin 11 Mar 2019 19:34 WIB

Awal Mula Islam Masuk ke Ranah Minang

Islam tiba di ranah Minangkabau antara lain berkat dakwah oleh ulama-sufi.

Seorang Datuk (Pimpinan Adat) turun dari sebuah rumah tradisional Minangkabau,
Foto: Antara
Seorang Datuk (Pimpinan Adat) turun dari sebuah rumah tradisional Minangkabau, "Rumah Gadang", di Nagari Sumpur, KabTanah Datar, Sumbar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada beragam pendapat tentang awal mula Islam tersebar di Minangkabau. Buya Hamka dalam buku Sejarah Umat Islam, misalnya, menyebutkan, pada 684 koloni Arab di pesisir barat Sumatra sudah terbentuk. Pendapat lainnya datang dari PM Holt yang menyebut, perkembangan Islam di Minangkabau bermula dari pesisir Pariaman, setelah masuknya dakwah agama ini ke Aceh pada abad ke-14.

Adapun disertasi Amir Syarifuddin untuk IAIN Syarif Hidayatullah (1982) mengungkapkan tiga tahap Islamisasi di Minangkabau.

Tahap pertama berlangsung melalui jalur perdagangan yang terjadi antara penduduk lokal dan para pelaut Muslim asal Arab, Persia, dan Gujarat. Mereka tidak hanya berniaga, tetapi juga menyampaikan ajaran Islam. Bahkan, sebagian di antaranya menikah dengan perempuan setempat. Islam dinilai berkesesuaian dengan falsafah adat Minangkabau yang memang sudah mengakar lama saat itu.

Tahap kedua berlangsung sekira abad ke-15 di sekitar pesisir barat Minangkabau. Kali ini, dakwah Islam terjadi dengan perantaraan para saudagar Aceh. Memang, daerah di ujung Pulau Sumatra itu lebih dahulu menerima risalah Islam. Pada tahap inilah dakwah Islam berkembang pesat dan lebih sistematis dalam menjangkau seluruh penduduk Minangkabau.

Tahap ketiga ditandai dengan perkembangan Islam dari daerah rantau (pesisir) ke darek (dataran tinggi). Mengutip Holt, kaum darek lebih belakangan dalam menerima Islam karena di sanalah para pemangku adat memegang peran dalam akulturasi kebudayaan Hindu-Buddha (Jawa) yang diinisiasi Kerajaan Pagaruyung.

Pergerakan dakwah dari pantai ke pedalaman ini dikiaskan dengan ungkapan, “Syara’ mandaki, adat manurun.” Artinya, penyebaran syariat dan ajaran-ajaran Islam mulai naik ke dataran tinggi.

Buku Pertautan Budaya Sejarah Minangkabau dan Negeri Sembilan (2017) menjelaskan kedatangan Islam dari dua daerah pesisir (barat dan timur Sumatra) terjadi pada tahap ini. Dari pantai sebelah timur Minangkabau, ada Kerajaan Kuntu. Adapun dari pantai barat Minangkabau, melalui Pariaman, Islam disebarluaskan oleh murid-murid Syekh Burhanuddin Ulakan, seorang salik Tarekat Shatariyah dan pernah berguru pada mufti Kerajaan Aceh Syekh Abdur Rauf as-Singkili.

Baca juga: Syekh Abdur Rauf as-Singkili, Guru Ulama-ulama Nusantara (1)

Pada masa pemerintahan Ananggawarman (anak Aditiawarman, sang pendiri Kerajaan Pagaruyung), pengaruh Hindu-Buddha mulai pudar. Hal ini seiring dengan melemahnya Majapahit di Pulau Jawa. Dominasi Majapahit digantikan pengaruh Kesultanan Demak.

Namun, Majapahit di bawah pimpinan Wikramawardhana (menantu Hayam Wuruk) sempat menyerang Pagaruyung, meski pada akhirnya kalah.

Lokasi pertempuran itu kemudian dinamakan sebagai Padang Sibusuk. Nama untuk daerah yang sekarang menjadi bagian Kabupaten Sijunjung, Provinsi Sumatra Barat, itu menandakan banyaknya mayat membusuk dari korban jiwa yang jatuh bergelimpangan di sana.

Sementara mayoritas masyarakat Minangkabau menjadi Muslim, Islam mulai dikenal kalangan istana Pagaruyung sejak abad ke-17. Dalam Tambo dijelaskan, raja pertama yang memeluk agama ini bergelar Sultan Alif.

Dengan demikian, muncul lembaga baru yang disebut Raja Ibadat sebagai perimbangan daripada Raja Adat yang mengurus persoalan tradisi dan Raja Alam sebagai eksekutif pemerintahan. Ketiga lembaga itu dihimpun dalam Rajo Nan Tigo Selo. Di bawahnya terdapat lembaga Tuan Kadi dan Malin.

Dasar pengaturan masyarakat Minangkabau pun bertransformasi. Sebelum kedatangan Islam, filsafat adat Minangkabau mengambil acuan dari ketentuan alam. Para cerdik cendekia mengamati alam, menemukan hukum-hukum alam, untuk kemudian dipetik hikmahnya.

Setelah Islam diterima, adat Minangkabau disempurnakan dengan ketentuan agama, yakni sesuai Alquran dan Sunah. Dengan begitu, ada dua kutub yang menjadi rujukan masyarakat setempat, yakni adat dan agama. Keduanya saling berdampingan tanpa harus saling meniadakan.

Pepatah “Adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” merupakan sintesis dari oposisi biner tersebut. Adat berjalan seiring dengan tuntunan agama (syara’/syariat).

Seorang pemuka adat mesti seorang Muslim yang taat menjalankan syariat Islam. Di saat yang sama, seorang ulama harus memahami adat Minangkabau secara komprehensif.

Pemaknaan “adat basandi syara’, syara’ basandi kitabullah” telah melalui proses yang amat panjang. Maka dari itu, sampai saat ini pun sulit memisahkan antara adat dan agama dalam kultur masyarakat Minangkabau.

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement