Jumat 01 Mar 2019 20:42 WIB

Wali Nikah Bagi Muslimah

Rukun adanya wali bagi perempuan ini merupakan pendapat mayoritas para ulama

Muslimah (ilustrasi)
Foto: Prayogi/Republika
Muslimah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernikahan merupakan salah satu syariat dalam Islam. Allah SWT menyebut menikah adalah ibadah untuk menyempurnakan agama. Pernikahan dalam Islam disebut dalam menjaga dari fitnah dan pandangan serta hal-hal haram yang bisa dilakukan oleh dua orang umat berbeda jenis.

Syariat pernikahan ini disebut dalam HR Bukhari dan Muslim. Dalam hadis ini disebutkan: "Wahai para pemuda, ba rangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia berpuasa; karena puasa dapat menekan syahwatnya (se bagai tameng)."

Allah SWT dalam surah ar-Rum ayat 21 juga berfirman: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sa yang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir." Dalam surat ini Allah SWT menyebut menikah merupakan jalan menuju rahmat dan ridha- Nya.

Dalam surat An-Nur ayat 30 Allah juga menyebut: "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hen dak lah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demi kian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." Menikah merupakan hal yang sakral dan masuk dalam sebuah ibadah. Karena itu, harus ada rukun dan syarat yang dipenuhi oleh para calon mempelai. Adapun rukun nikah yaitu sudah memiliki calon baik laki-laki maupun perempuan.

Harus ada wali dari pihak perempuan, minimal dua orang saksi. Dan terakhir harus ada ijab kabul yang diucapkan oleh wali pihak perempuan dan dijawab oleh calon mempelai laki-laki. Seorang wanita diharamkan untuk menikahkan dirinya sendiri. Menikah tanpa wali bagi seorang wanita menjadikan pernikahannya tidak sah. Tidak diizinkan selain wali sebagai wali dari pernikahan perempuan tersebut.

Rukun adanya wali bagi perempuan ini merupakan pendapat mayoritas para ulama dan sahabat Nabi Muhammad SAW. Aisyah RA berkata bahwa Rasu lullah pernah bersabda: "Wanita mana pun yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal." Dalam HR Abu Daud, Nabi juga bersabda: "Tidak sah nikah kecuali dengan adanya wali."

Syarat sah menjadi wali yaitu lakilaki dan datang dari keluarga sang ayah, memiliki kesamaan agama, berakal, baligh, adil, dan merdeka. Imam Abu Suja' dalam Matan al-Ghayah wa Taqrib mengurutkan siapa-siapa saja yang berhak dan masuk dalam prioritas untuk menjadi wali. Ia menyebut wali paling uta ma adalah ayah, kakek (ayahnya ayah), saudara lelaki seayah seibu (kan dung), saudara lelaki seayah, anak lelaki saudara lelaki seayah seibu (kandung), anak lelaki saudara lelaki seayah, paman dari pihak ayah, dan anak lelaki paman dari pihak ayah. Demikianlah urutannya. Apabila tidak ada waris ashabah, maka hakim.

Daftar wali di atas tidak boleh dilang kahi atau diacak-acak. Apabila ayah kandung masih hidup, tidak boleh hak kewaliannya itu diambil alih oleh wali pada nomor berikutnya, kecuali bila pihak yang bersangkutan memberi izin dan haknya itu kepada mereka. Izin perwalian ini juga bisa diberikan kepada mereka yang tidak ada dalam daftar wali. Ini bila ingin tokoh masyarakat atau ulama setempat hadir dan pihak keluarga ingin ia menjadi wali nikah.

Seperti disebutkan sebelumnya, yang paling akhir bisa menjadi wali dan menikahkan seorang Muslimah adalah wali hakim. Wali hakim baru bisa digunakan jika memang tidak ada wali sahnya yang bisa menikahkan.

Adapun yang disebut sebagai wali hakim yaitu penguasa tempat dimana calon mempelai akan melangsungkan pernikahan. Dalam HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi disebut: "Sultan adalah wali bagi mereka yang tidak punya wali."

Wali hakim merupakan para khilafah dan sultan negara, di Indonesia berarti presiden Republik Indonesia adalah wali hakimnya. Presiden kemudian dapat mengangkat secara resmi para pembantu dalam menjalankan tugas ini.

Biasanya diwakilkan dengan Menteri Agama, dan turun hingga para pimpinan di kantor wilayah kementerian agama dan kantor urusan agama (KUA) di daerah masing-masing. Dr Ahmad Rayan menyebut: "Penguasa punya hak untuk menikahkan namun setelah tidak adanya wali khusus (kerabat)." Ibnu QUdamah pun menyebut: "Sultan dalam perwalian nikah adalah pemimpin, hakim atau orang yang dipasrahi untuk menangani masalah pernikahan."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement