Jumat 01 Mar 2019 08:59 WIB

NU Dorong Revisi Perangkat Hukum Persaingan Usaha

Perangkat hukum yang ada saat ini dinilai belum memenuhi kebutuhan masyarakat.

Rep: Andrian Saputra / Red: Nashih Nashrullah
Munas NU. Pembukaan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) yang dihadiri para ulama NU, Presiden RI Joko Widodo dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj, di Pompes Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu (27/2).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Munas NU. Pembukaan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (NU) yang dihadiri para ulama NU, Presiden RI Joko Widodo dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj, di Pompes Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu (27/2).

REPUBLIKA.CO.ID,  BANJAR –  Peserta bahtsul masail (kajian hukum) Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama mendorong rencana perbaikan perangkat hukum yang mengatur tentang persaingan usaha. 

Hal itu mengemuka dalam bahtsul masail di Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama yang membahas tentang Rancangan Undang-Undang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha sebagai pengganti UU nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Baca Juga

Peserta bahtsul masail menilai UU tersebut belum dapat menampung dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat. 

Anggota bahtsul masail, Muhammad Syamsuddin, mengatakan praktik-praktik usaha yang tidak sehat masih merajalela mulai dari melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran (monopoli), menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal (monopsoni), penguasaan pasar baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, hingga persekongkolan dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender.

“Banyak faktor yang melatar belakanginya, mulai dari kongkalikong antara pengusaha dengan pejabat, masih maraknya praktik suap, dan tipu daya antarpengusaha,” katanya dalam bahtsul masail yang berlangsung di kota Banjar pada Kamis (28/2)

Ia menjelaskan dalam revisi UU No. 5 Tahun 1999  terdapat beberapa masalah pokok yang menjadi perdebatan, antara lain soal pengertian "praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, kelembagaan dan kewenangan KPPU, Persoalan denda dan hukuman, serta kode etik dan dewan Pengawas.

Pihaknya mendorong rencana perbaikan perangkat hukum yang mengatur persaingan usaha, mengingat pada waktu penerbitan UU No. 5/1999 di waktu sebelumnya diperoleh kesan penyusunan yang tergesa-gesa. 

Forum juga cenderung menyetujui draft revisi UU yang memperluas kewenangan KPPU untuk bertindak sebagai penyidik, penuntut, dan sekaligus pemutus perkara dalam kewenangan KPPU.

“Hanya saja, perlu perbaikan mengenai substansi, struktur pasal-pasal, dan redaksi muatan-muatan baru yang diperlukan agar kepentingan umum dapat dikedepankan guna mencapai efisiensi dan kemakmuran rakyat,” ujarnya.

Terkait dengan kemungkinan adanya peleburan (merger) dua atau lebih perusahaan/badan usaha, forum Komisi Bahtsul Masail Qanuniyah mengusulkan adanya antisipasi melalui aturan UU Penanaman Modal Asing (PMA) yang berlaku, khususnya untuk jenis usaha yang melibatkan penanam modal asing (PMA) guna melindungi produk dan pengusaha dalam negeri dalam berkiprah di negeri sendiri.

Proses diskusi berlangsung dinamis oleh peserta yang terdiri dari para kiai pesantren dan utusan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama dari berbagai daerah di Indonesia. Selain soal RUU Anti Monopoli dan Persaingan Usaha, komisi tersebut juga membahas soal RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Kendari demikian keputusan final dari diskusi tiap komisi pada Munas Alim Ulama ini akan digulirkan kembali pada sidang pleno, Jumat (29/2) untuk ditinjau lalu diresmikan sebagai keputusan Munas-Konbes NU 2019. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement