Senin 25 Feb 2019 08:21 WIB

Cerita Haji Agus Salim Cegah Orang Jepang 'Bunuh Diri'

Haji Agus Salim bersahabat dengan seorang Jepang bernama Kapten Yamasaki.

(ilustrasi) Haji Agus Salim
Foto: tangkapan layar e-paper Republika
(ilustrasi) Haji Agus Salim

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat menduduki Indonesia, Jepang mengeruk sebanyak-banyaknya sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) setempat demi kemenangannya di kancah Perang Dunia II.

Pada zaman itu, Haji Agus Salim diminta bekerja pada markas Pembela Tanah Air (PETA), organisasi bentukan Jepang, yang terletak di bekas tangsi KNIL, Bogor.

Baca Juga

Kemampuan bahasa Jepangnya sebatas pasif. Namun, dia justru bertugas dalam tim penyusun kamus kemiliteran untuk serdadu Dai Nippon. Di Bogor, Haji Agus Salim bersahabat dengan Kapten Yamasaki.

Seperti diceritakan Kustiniyati Mochtar dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim (1996), para tentara Jepang menaruh respek terhadap suami Zainatun Nahar tersebut.

Sewaktu (pada akhirnya) Dai Nippon kalah perang, Yamasaki hendak mengakhiri hidupnya (harakiri), seperti ksatria-ksatria Jepang yang berprinsip Bushido. Kebetulan, Agus Salim memergokinya. Dengan gaya khasnya, berbahasa isyarat pula—yang diselingi Indonesia dan sedikit Jepang—dia meyakinkan Yamasaki bahwa bunuh diri bukanlah tindakan pemberani. Keputusan itu justru menandakan seorang pengecut. Yang penting adalah berani-hidup, bukan berani-mati.

Sang kapten akhirnya terbujuk. Dia kemudian memutuskan pulang ke negerinya dan kembali menjadi guru—profesinya sebelum terjun di militer Jepang.

Menurut kesaksian Zainatun Nahar, yang berkunjung ke Jepang pada 1955 (sesudah wafatnya Haji Agus Salim), sahabat suaminya itu ternyata masih hidup. Dia kini mengelola sekolah keterampilan rumah tangga.

“Tampaknya Yamasaki tak menyesali keputusannya 10 tahun yang lalu,” kenang Zainatun, seperti termuat dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim (1996).

sumber : Islam Digest Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement