REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ajang debat telah menjadi bagian dari proses mendapatkan pemimpin. Dalam konteks Pilpres 2019, hal itu sudah diwujudkan setidaknya melalui dua putaran terakhir antara dua pasangan calon (paslon).
Bagaimana perspektif Islam memandang fenomena debat? Menurut Prof Yunahar Ilyas, agama ini juga memiliki aturan dalam praktik berdebat. Aturan itu berdasarkan pada Alquran dan sunah Nabi SAW.
Lebih lanjut, diungkapkannya bahwa debat merupakan salah satu metode dalam Islam, di samping cara-cara memberikan nasihat atau pelajaran. Tetapi, semua itu mesti dilakukan secara baik, sebagaimana instruksi Alquran.
“Debat itu mencari kebenaran, menguji pendapat mana yang benar dengan cara mencari kelemahannya,” kata Yunahar Ilyas kepada Republika.co.id, Senin (18/2).
Sebagai contoh, debat antara A dan B. Ajang itu dilakukan dengan mengungkapkan pendapat dan mencari kelamahan satu sama lain. Dengan begitu, pemirsa dapat menggali suatu atau beberapa pemikiran untuk kemudian memantapkan suatu keputusan yang paling tidak mendekati sempurna.
“Makanya, debat harus ditujukan ke isi, bukan ke orang atau personal," ujar Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia itu.
Capres No 01 Joko Widodo dan Capres No 02 Prabowo Subianto usai debat kedua calon presiden pemilu 2019, Jakarta, Ahad (17/2).
Perumpamaan lainnya, ketika dua orang sedang berdebat masalah ekonomi. Tanpa menyebutkan nama, menurut Yunahar, kedua orang tadi mesti berbicara tentang ekonomi saja atau hal-hal lain terkaitnya. Tidak bisa kemudian mereka saling menyerang sisi pribadi, keluarga, atau latar belakang kesejarahan lawan debatnya.
Hal lain yang digarisbawahinya, para peserta debat mesti menggunakan bahasa. Tidak boleh ada saling memaki atau mencela. Fokus saja pada menilai pendapat dan argumen lawan.
“Sehingga penonton menikmati, menilai mana argumen yang kuat, mana pendapat yang tak ada kelemahan,” kata dia.
Batasan "Menyerang" dalam Debat
Yunahar menegaskan, adanya batasan ihwal menyerang lawan debat. Hal itu diatur dalam agama Islam.
Tentunya, serangan-serangan yang dimaksud mesti sebatas menyasar pada pemikiran dan ide, bukan pribadi.
“Kalau yang diserang person, itu keluar dari aturan debat,” ujar dia.
Guru besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) itu menjelaskan, di dalam Alquran ada tiga metode dakwah. Ketiganya mesti diperhatikan oleh pihak pembicara, termasuk dalam bila akhirnya bernuansa debat sekalipun.
Pertama, hendaknya mengajarkan dengan hikmah. Artinya, menyampaikan pesan dengan menggunakan akal pikiran, waktu, tema, dan cara yang tepat. Kedua, hendaknya menyampaikan dengan nasihat. Ketiga, barulah melalui debat.
Lihat, misalya, surah an-Nahl ayat ke-125, yang artinya, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya, Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk."
Dalam sejarah peradaban Islam juga dikenal adanya para sahabat Nabi SAW beradu argumen dengan sesamanya. Generasi-generasi setelahnya juga begitu. Misalnya, antara Abu Hamid Muhammad al-Ghazali dan Ibnu Taymiyyah. Mereka semua mengikuti akhlak Islami dalam berdebat.
“Jadi, debat harus dengan cara terbaik. Kalau terbaik, artinya, tak menyakiti perasaan orang, tidak menyerang pribadi,” jelas Yunahar.
Bila dikaitkan dengan kontestasi Pilpres, menurut dia, memang boleh antarcapres saling berdebat. Namun, keduanya tidak boleh menyerang pribadi. Sebab, hal itu sudah keluar dan melanggar aturan debat.
“Saya pikir, KPU (Komisi Pemilihan Umum) juga sudah membuat aturan itu, tidak boleh menghina, mencaci, menyerang personal. Seranglah pikiran dan ide yang ada,” tutur dia.