REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ini salah satu kisah masyhur tentang hubungan guru-murid antara A Hassan dan Mohammad Natsir muda. Pada September 1928, murid-murid AMS Bandung kedatangan tamu, yakni AC Christoffels, seorang misionaris Kristen.
Seluruh warga AMS itu diarahkan agar menyimak ceramah Christoffels di gereja dekat Taman Pieterspark (kini Taman Merdeka, Bandung). Judul ceramah itu, “Mohammmed als Profeet” (Muhammad sebagai nabi).
Natsir dan sahabatnya, Fakhruddin al-Khairi, kaget setelah mendengarkan uraian pendeta itu dalam bahasa Belanda. Sebab, Rasulullah SAW dikatakannya hanya nabi "kelas tiga" dari Perjanjian Lama. Lebih lanjut, Nabi Muhammad SAW justru disebutnya mengajak orang-orang untuk menemukan kebenaran Kristus. Keesokan harinya, “Mohammmed als Profeet” naik cetak sebagai artikel di koran Algemene Indische Dagblad (AID).
Natsir dan al-Khairi membawa kasus itu kepada A Hassan. Disepakatilah bahwa tokoh-tokoh Persatuan Islam (Persis), melalui Komite Pembela Islam, harus menulis artikel jawaban dan menerbitkannya pada AID. Mengapa AID? Sebab, komite itu sampai saat itu belum punya penerbitan sendiri.
Pada mulanya, redaksi AID enggan menerbitkan artikel-artikel dari pihak Persis karena menganggap koran itu harus netral agama. Namun, setelah Natsir menunjukkan tulisan-tulisan Christoffels justru terbit di sana, barulah mereka bersedia menampilkan karya-karya dari pihak Persis.
Polemik Natsir vs Pendeta Belanda
Natsir ditugaskan untuk menulis konsep tulisan, untuk kemudian merundingkannya bersama Komite. Sebagai informasi, Komite Pembela Islam dibentuk pada Maret 1929 sebagai upaya untuk menangkal pelbagai siaran yang mengandung ujaran kebencian terhadap Islam. Ketua pertamanya adalah Haji Zamzam, sedangkan wakilnya adalah Haji Mahmud. Adapun Hassan bertindak selaku penasihat.
Setiap hendak merumuskan konsep-konsep tulisan itu, Natsir berdiskusi dengan Hassan. Tujuannya agar karyanya nanti mengandung hujah-hujah yang kuat, sehingga melemahkan argumen yang disampaikan Christoffels atau kubu orientalis.
Memang, pendeta itu menyampaikan kekeliruan faktual yang serius. Misalnya, dikatakannya bahwa Nabi Muhammad SAW memiliki nafsu seksual yang begitu besar, sampai-sampai meminta istri anaknya, Ali, untuk menjadi istrinya. Padahal, tulis Natsir, Nabi Muhammad SAW tidak punya anak laki-laki yang bernama Ali.
Selain itu, Christoffels juga mengemukakan, Aisyah diambil sebagai istri oleh Nabi SAW, walau telah diceraikannya karena berzina. Padahal, Nabi SAW tidak pernah menceraikan Aisyah. Adapun isu perzinaan hanyalah fitnah dari Abdullah bin Ubay, tokoh munafik di Madinah.
Ternyata, “perang tulisan” antara Christoffels dan Natsir berlangsung terus menerus. Ujung-ujungnya, pihak AID menolak menerbitkan tulisan Natsir karena merasa persoalan sudah selesai. Inilah yang menyebabkan Komite Pembela Islam menerbitkan majalah sendiri.
Nama majalah itu, Pembela Islam. Media tersebut terbit perdana pada Oktober 1929. Di dalamnya, seluruh artikel Natsir yang ditulis dalam bahasa Belanda—isinya membantah semua argumen Christoffels—dimuat secara bersambung.
Baca juga: A Hassan: Guru Pak Natsir, Kawan Debat Bung Karno (5)