Rabu 13 Feb 2019 18:56 WIB

PGI: Revisi atau Cabut, Lalu Ganti PBM Rumah Ibadah

Ada beberapa pandangannya tentang polemik pencabutan aturan tersebut.

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Hasanul Rizqa
Sekretaris Umum PGI Gomar Gultom (tengah) dan Kepala Humas PGI, Jeirry Sumampow (kanan) saat konferensi pers terkait ledakan bom Surabaya.
Foto: RepublikaTV/Fian Firatmaja
Sekretaris Umum PGI Gomar Gultom (tengah) dan Kepala Humas PGI, Jeirry Sumampow (kanan) saat konferensi pers terkait ledakan bom Surabaya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keinginan salah satu partai politik untuk menghapus PBM Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Beberapa pihak menyampaikan pandangan yang beragam.

Salah satunya datang dari Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Menurut Sekretaris Umum PGI Pendeta Gomar Gultom, deregulasi aturan tentang pendirian rumah ibadah itu mesti memerhatikan sejumlah pertimbangan.

Pertama, soal sebab munculnya beleid tersebut. Pihaknya menegaskan, PMB itu bukanlah hasil rumusan organisasi-organisasi masyarakat.

Dalam penyusunan dan perumusannya, lembaga majelis-majelis agama, termasuk PGI, dimintai masukannya. Akan tetapi, tegas dia, tidak semua pendapat terakomodasi di dalam regulasi tersebut.

“Sebagai sebuah keputusan bersama menteri, maka dia (PBM Nomor 9 dan 8) adalah rumusan menteri. Bahwa lembaga agama dimintai pendapat dan diajak ikut mendiskusikannya, iya,” tutur Gomar Gultom kepada Republika.co.id, Rabu (13/2).

Dia juga menekankan, PMB tersebut dimaksudkan untuk mengatur, bukan membatasi. Artinya, beleid itu merupakan cara negara memfasilitasi pendirian rumah ibadah di tengah masyarakat. Jika pada praktiknya ada kendala-kendala, maka Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dapat turun tangan untuk menjembatani dialog.

“Sayangnya yang terjadi di lapangan adalah pembatasan-pembatasan dan kurang tampak peran negara untuk memfasilitasi, sebagaimana disebutkan pada Pasal 14 dan 28 (PBM Nomor 9 dan 8),” ujar dia.

Pada prinsipnya, PGI menilai aturan dalam hal pendirian rumah ibadah masih diperlukan. Kekosongan hukum justru tidak diharapkan terjadi karena berpotensi menimbulkan kendala-kendala di tengah masyarakat.

Menurut dia, PBM yang kini berlaku tentang pendirian rumah ibadah perlu direvisi. Sebab, regulasi itu dinilainya belum cukup ideal dalam menjamin hak-hak warga negara.

“Olehnya dibutuhkan revisi terhadap PBM tersebut untuk lebih menekankan peran fasilitasi negara dan reposisi atas peran FKUB,” jelas dia.

“Jadi pilihannya dua, revisi PBM atau cabut PBM, tapi pada saat yang sama (bila PBM dicabut), keluarkan regulasi yang menjamin kebebasan beragama,” kata Gomar Gultom menyimpulkan.

Sebelumnya, PSI mengumumkan keinginan untuk menghapus PBM tentang pendirian rumah ibadah. Partai bernomor urut 11 itu mengklaim, cita-cita tersebut sejalan dengan upaya melawan intoleransi di Tanah Air. Ketua Umum PSI Grace Natalie menggolongkan deregulasi SKB itu ke dalam salah satu agendanya.

“Pertama, di tingkat nasional PSI akan mendorong deregulasi aturan mengenai pendirian rumah ibadah. PSI akan mendorong penghapusan Peraturan Bersama Menteri Mengenai Pendirian Rumah Ibadah,” kata Grace Natalie melalui keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Selasa (12/2).

Oleh karena itu, lanjut mantan jurnalis itu, pihaknya menyampaikan janji. Bila kader PSI terpilih dan menjadi wakil rakyat di parlemen, maka deregulasi PBM Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 akan segera terwujud.

Baca juga: PGI: Aturan Pendirian Rumah Ibadah Perlu Ditinjau Ulang

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement